Dengan masih punya harapan kebahagiaan dunia ini atau masih optimis dengan dunia, berarti kita diformat dunia. Hanya orang yang pesimis dengan hidup ini, namun optimis untuk langit baru bumi baru, yang bisa diformat Tuhan. Pada waktu Yohanes Pembaptis membaptis orang-orang Yahudi dan non-Yahudi—walaupun mereka sudah pernah menjadi umat Allah, namun mereka dibaptis ulang— itu adalah untuk menunjukkan buah pertobatan. Dan itu yang dilakukan oleh murid-murid Tuhan Yesus pada zaman Tuhan Yesus. Kita pun diselamkan dalam pergaulan dengan Roh Kudus. Maka Tuhan berkata, “Kalau kamu tidak melepaskan dirimu dari segala milikmu, kamu tak dapat jadi murid-Ku.” Kamu tidak bisa Tuhan format, tidak bisa Tuhan bentuk. Hal ini bukan berarti lalu kita harus miskin, tinggalkan rumah, tidak punya apa-apa. Tetapi maksudnya jangan kita terikat dengan hal-hal itu.
Seorang hamba Tuhan, apakah ia membela Tuhan atau membela lembaga atau yayasan atau gerejanya, itu beda tipis. Hampir gak bisa dilihat. Kalau ia membela gereja, yayasan apa pun namanya, maka ia pasti masih punya agenda di situ. Namun kalau ia membela Tuhan, ia pasti tidak punya agenda sama sekali, tidak punya keuntungan atau kepentingan pribadi, kecuali untuk kemuliaan Tuhan. Ketika kita masih optimis dengan dunia, kita tidak bisa menemukan Tuhan secara utuh. Kita hanya menemukan Tuhan seperti selembar kertas yang namanya teologi. Lalu, waktu kita berdoa, kita berdoa kepada Tuhan yang ada di teologi kita, di otak kita itu. Tetapi ketika seseorang tidak lagi optimis dengan dunia sehingga kesukaan dan kebahagiaannya hanya Tuhan. Setelah Tuhan tahu bahwa kita tidak bisa disenangkan oleh siapa pun, maka Tuhan seperti membuka kotak atau ruangan dan kita masuk ke dalamnya. Namun hati kita harus bersih.
Kita tidak boleh berharap ada kebahagiaan atau kesenangan dunia, baru Dia bisa masuk. Jadi setelah kita berani melepaskan segala kesenangan dunia, kita masuk ke dalam format, masuk dalam bingkai Tuhan, itu luar biasa. Dan barulah kita ketemu Tuhan di situ. Maka, tidak bisa tidak, orang yang telah selalu bertemu dengan Tuhan dengan orang yang tidak selalu bertemu dengan Tuhan, apalagi yang belum bertemu dengan Tuhan, akan berbeda sekali. Akan pasti sangat bisa dibedakan antara orang yang sudah bertemu Tuhan dan yang belum bertemu Tuhan. Yang punya teologi saja bisa sesat, apalagi yang tidak. Namun hati-hati, kalau orang terlalu pintar, dan ia merasa bahwa dia sudah menemukan Tuhan, dia tambah sombong, malah ia tidak menemukan apa-apa. Tetapi jemaat yang polos, tulus, yang datang kepada Tuhan dalam doa, dia lebih bisa menemukan Tuhan, dan dia masuk di wilayah Tuhan. Di sini, Tuhan menghargai orang yang menaruh optimisme ke dalam dunia yang akan datang.
Orang yang optimisme terhadap dunia akan datang, itu sama dengan orang yang berharap hanya Tuhan kebahagiaannya. Dan Tuhan tidak akan membuat orang seperti itu bertepuk sebelah tangan. Sebab Tuhan tahu, kita melabuhkan hati kita kemana atau kepada siapa. Ironis, banyak orang Kristen yang sudah terbiasa dalam diplomasi-diplomasi di dalam gereja; “Aku mengasihi Engkau Tuhan, Engkau kekuatanku, Kau kesenanganku.” Bohong. Tuhan tidak merasa itu, karena mereka masih mencintai dunia. Kalau pendeta, ia masih bangga dengan gerejanya, dengan mobil mewahnya, dan diam-diam juga mau menjadi seseorang atau masih mengaktualisasi dirinya di kelasnya masing-masing. Jadi kita bisa mengerti kalau Tuhan akhirnya berkata, “Aku tidak kenal kamu.”
Padahal mereka adalah orang-orang yang sudah mengusir setan, membuat mukjizat, dan semakin berkarya besar, semakin dia merasa dekat Tuhan, semakin merasa sudah istimewa. Kemudian orang pun mendewakan dan mengkultuskannya, dan dia juga menerima pengkultusan itu. Ajarannya juga bukan kebenaran yang murni, sehingga jemaat yang mendengar khotbahnya tidak membangun format nurani yang baik. Jadi, tidak punya mahkamah Ilahi dalam dirinya. Tidak heran kalau tindakan dan keputusannya—walaupun di mata manusia tidak salah— tidak menyenangkan Tuhan. Maka, kesucian hidup itu sangat penting. Mari, jangan kita menunda pertobatan. Kalau kita mau bertobat, harus sekarang, bukan nanti, bukan kapan-kapan. Atau kita akan terhilang. Ingat satu hal ini: kalau tujuh puluh tahun hidup kita dibanding kekekalan, ini tidak ada bandingannya. Padahal satu detik nilainya tidak terhingga. Betapa berharganya waktu hidup kita.