Skip to content

Di mana Allah?

 

Ketika gereja mengajarkan kuasa dan mukjizat sebagai hal yang utama, maka — suka atau tidak — pimpinan gereja harus menjadi sumber manifestasi kuasa tersebut. Artinya, pemimpin harus memiliki keistimewaan: dapat mendoakan orang agar sembuh, mendengar suara Tuhan, mengalami perjumpaan supranatural, dan sebagainya. Akibatnya, hampir tak terhindarkan terbangunnya pengkultusan individu. Sebab, para pemimpin tersebut dipandang unggul karena pengalaman-pengalaman adikodrati yang mereka klaim alami.

Faktanya, banyak orang Kristen yang tidak pernah belajar teologi atau Alkitab secara mendalam, tetapi karena mengalami atau mengaku mengalami peristiwa-peristiwa supranatural — terutama jika dapat mendemonstrasikan mukjizat — langsung dianggap layak memimpin umat. Ironisnya, mereka yang telah belajar teologi bertahun-tahun, belum tentu memiliki jemaat sebanyak mereka yang mengedepankan pendekatan mistis. Terlebih lagi, jika pembelajaran teologi mereka hanya mengisi pikiran tanpa pengalaman perjumpaan dengan Allah, maka pengajaran mereka pun tidak berdaya mengubah hidup. Hanya menyentuh logika, tetapi tidak menyentuh hati dan kehendak.

Para teolog seperti ini hanya diminati di ruang-ruang akademik, di sekolah tinggi teologi atau seminar-seminar dengan topik doktrinal dan sistematika teologi. Dan sekalipun demikian, sering kali pengajaran mereka pun tidak mengubah hidup orang. Maka tidak heran jika gereja-gereja yang menekankan pengalaman-pengalaman supranatural merasa tidak membutuhkan teologi yang mendalam secara permanen. Kelompok ini bahkan merasa diri istimewa, padahal sebenarnya telah menyimpang.

Allah bukan hanya tidak kelihatan, tetapi sering kali tampak seolah tidak peduli terhadap pergumulan hidup kita. Maka jika memang Allah tidak tampak bekerja secara konkret, jangan direkayasa agar terlihat. Jangan setiap kejadian biasa dimaknai sebagai manifestasi luar biasa dari Allah. Misalnya, “Sebelum saya ke gereja ini, penghasilan saya sekian. Sekarang berlipat ganda. Ajaib!” Padahal, orang non-Kristen pun mengalami hal serupa, bahkan lebih hebat. Kita tidak perlu memaksakan untuk berkata, “Allah sangat ajaib,” jika memang tidak ada tindakan Allah yang nyata dalam kejadian tersebut. Allah memang ajaib, tetapi kita harus bertanya: ajaib dalam hal apa? Apa substansi dari keajaiban Allah itu?

Dalam sejarah gereja, banyak orang Kristen mengalami kenyataan bahwa Allah tampak tidak hadir. Bahkan saat gereja mengalami kemunduran besar yang disebut Abad Kegelapan, di mana Allah? Sejarah mencatat bahwa penyimpangan gereja berlangsung berabad-abad lamanya — jauh dari semangat dan ajaran Injil yang Yesus wariskan. Konflik-konflik doktrinal bahkan menyebabkan orang dibunuh atau dibakar hidup-hidup. Apakah itu semua cerminan kehadiran Allah? Di mana Tuhan saat itu?

Pada masa penganiayaan pun, Allah tampak tidak berdaya. Seakan-akan tidak mampu menolong umat-Nya, membiarkan penderitaan dan aniaya berlangsung bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Ada orang Kristen yang dari lahir hingga mati tidak pernah menikmati hidup yang nyaman. Ketika Allah seakan-akan membiarkan orang percaya dalam keadaan yang berlarut-larut menderita bahkan teraniaya oleh karena beriman kepada Yesus, di mana Allah? Seakan Dia tidak menghargai pengorbanan mereka dalam mempertahankan iman. Bukankah ini perlu kita renungkan sungguh-sungguh?

Karena itu, ketika hari ini ada orang yang merasa pengalaman-pengalaman “nyata”-nya adalah nilai tertinggi, — padahal tidak jarang kisah itu dilebih-lebihkan, bahkan dikarang — bagaimana kita harus memandang penderitaan umat Kristen pada abad mula-mula yang justru tidak ditolong Allah secara spektakuler? Bagaimana dengan kemerosotan iman yang begitu panjang dalam sejarah gereja? Di beberapa wilayah dunia — seperti di Turki, yang dahulu menerima salah satu dari tujuh surat Wahyu — gereja bahkan telah punah. Di mana Tuhan? Apakah karena mereka tidak berkualitas, sehingga layak untuk dibiarkan binasa?

Maka sekarang, kita perlu memiliki cakrawala baru dalam hidup, supaya kita tidak stres melihat ketidaksinkronan antara kesaksian di mimbar atau khotbah-khotbah bombastis, dengan kenyataan hidup kita yang penuh pergumulan. Di gereja dikatakan bahwa Allah memberkati dengan limpah, ada pemulihan; tapi ketika pulang, yang menanti adalah penagih utang. Maka marilah kita belajar kebenaran yang murni. Gunakan logika yang sehat. Mintalah pimpinan Roh Kudus.