Skip to content

Di Hati-Nya

 

Kita harus dengan rendah hati mempertimbangkan, jangan-jangan kita sebenarnya masih terhilang dari hadirat Tuhan. Jangan sampai kita tidak mengenal diri kita sendiri. Kita merasa bahwa kita sudah ada di dalam rumah Tuhan, padahal kita ada di luar rumah Tuhan. Secara fisik ada di dalam gereja, secara organisasi menjadi aktivis, bahkan menjadi pendeta, tapi sebenarnya kita ada di luar hati Tuhan, di luar hati Bapa. Jadi, betapa mengerikan keadaan ini kalau sampai ternyata kita masih ada di luar hati Tuhan. 

Orang yang belum ada di hati Tuhan adalah orang yang terhilang. Orang yang di luar hati Tuhan, pasti Tuhan juga di luar hatinya. Kita mungkin berkata, “Tuhan di hatiku,” mudah mengucapkan kalimat itu. Tapi coba periksa, apakah benar Tuhan di hati kita? Ingat, Tuhan tidak menginginkan sebagian hati kita; Tuhan menghendaki segenap, seluruh hati kita. Kalau kita hanya memberikan sebagian hati kita, Tuhan tidak ada di situ. Karena firman Tuhan mengatakan di Injil Matius 6:24 bahwa orang percaya tidak bisa, tidak boleh memiliki dua tuan. Hanya Tuhan satu-satunya Tuan kita, atau tidak usah sama sekali.

Sebagai pendeta, pelayan jemaat, atau dosen Sekolah Tinggi Teologi, rasanya kita pernah melewati tahun-tahun di mana kita hanya memberi sebagian hati. Ada bagian di dalam hati kita—sekecil apa pun itu—yang kita berikan untuk yang lain, atau kesenangan pribadi. Sejatinya, itu berarti kita terhilang. Di dalam kesabaran hati Tuhan yang luar biasa, Tuhan menanti kita sadar seperti “anak terhilang” di Lukas 15; ditunggu kepulangan kita. Puji Tuhan, lewat pengalaman hidup, dalam perjalanan waktu, Tuhan menegur, Tuhan mengingatkan sehingga kita sadar bahwa ternyata kita terhilang. 

Seperti anak bungsu yang ditegur melalui keadaannya, kemiskinannya, sampai ia harus menjadi penjaga babi. Padahal, bagi orang Yahudi, babi itu haram. Anak terhilang bukan hanya menjaga babi, melainkan makan makanan babi. Betapa rendahnya, betapa miskinnya! Orang yang tidak ada di dalam hati Tuhan adalah orang yang hina, yang rendah, yang miskin dalam pemandangan mata Tuhan, walaupun mungkin secara materi kaya. Ia tidak akan pernah ada ‘di pangkuan Abraham.’ Artinya, tidak akan pernah ada di tempat terhormat. Jadi, mari kita periksa diri kita, kita ini orang yang terhilang atau tidak. 

Kalau kita mau menjadi orang yang tidak terhilang, jadikan Tuhan satu-satunya kebahagiaan; beri seluruh ruangan hati dan hidup kita hanya untuk Tuhan, bukan untuk yang lain! Mungkin orang menilai kita dengan berbagai penilaian. Jangan jadikan itu masalah. Justru hal itu memicu kita untuk bersungguh-sungguh dan menantikan pengadilan Tuhan. Kita terus merenungkan dan menghayati ada pengadilan Tuhan. Semua akan dibuka di hadapan Allah; siapa dan bagaimana kita masing-masing. Jadi, jangan memberi ruangan untuk siapa pun dan apa pun, apalagi untuk dosa! 

Penebusan oleh darah Yesus atas hidup kita memberi konsekuensi bahwa segenap hidup kita adalah milik Tuhan. Tidak ada ruangan hidup, ruangan hati kita yang pantas diberikan kepada sesuatu atau seseorang. Semua hanya pantas, layak dipersembahkan bagi Tuhan! Jadi kalau kita masih terhilang, masih ada di luar hati Tuhan, ayo pulang! Ayo, balik dan bertobat karena Tuhan pasti tidak ada di dalam hati kita! Tuhan tidak akan ada di hati orang yang masih mendua. Ruangan hati kita harus sepenuhnya dipersembahkan bagi Tuhan. Ini persoalan besar. 

Kita masih sering menyimpan berbagai kesenangan diri sendiri dan tidak memperkarakan hal tersebut berkenan di hadapan Tuhan atau tidak, hal ini menyenangkan Tuhan atau tidak. Sebab kita hanyut, tenggelam di dalam kesenangan-kesenangan itu dan berpikir itulah kebahagiaan kita. Tanpa itu, tidak bahagia. Mengerikan! Kita bersyukur kalau Tuhan mengingatkan kita pada kesempatan ini bahwa orang yang tidak menempatkan Tuhan secara benar di dalam hidupnya, tidak akan ditempatkan Tuhan secara benar juga di hati-Nya. “Aku berlaku suci bagi orang yang suci hatinya,” demikian firman Tuhan.

Jadi kalau kita tidak memperlakukan Tuhan secara patut dan pantas, Tuhan pun juga tidak akan memperlakukan kita dengan pantas dan patut. Memang orang-orang Kristen baru yang belum dewasa, ketika hidup sembarangan, suka-suka sendiri, Tuhan masih peluk, seperti orang tua yang peluk anak di bawah umur. Tapi kita tidak boleh terus-menerus dalam keadaan suka-suka sendiri. Kita harus menjadi orang yang suka-suka Tuhan, yang hanya mau menuruti kehendak Tuhan, yang prinsipnya seperti prinsip Tuhan Yesus di Yohanes 4:34, “Makanan-Ku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Hanya dengan prinsip hidup seperti ini, kita bisa menempatkan Bapa, menempatkan Tuhan Yesus dalam hati kita, dan hati kita menjadi istana Bapa, tubuh kita menjadi rumah Tuhan; bait Roh Kudus.