Skip to content

Di Depan Mata

Saudaraku,

Mungkin kita lupa bahwa hidup kita terhubung dengan Allah senantiasa. Hal ini terjadi karena irama hidup kita yang bertahun-tahun salah. Irama hidup kita seakan-akan di daerah netral, daerah tak bertuan. Camkan ini, Saudara, Bapa di surga menghubungkan, mengkaitkan diri-Nya dengan kita. Yang berarti kita punya kesempatan untuk mewarnai Tuhan dengan sukacita, kegembiraan, kebahagiaan, menyenangkan hati-Nya. Maka kita harus menaruh CCTV di hati kita—dan memang Tuhan punya CCTV. Kalau kesadaran ini kita taruh di pikiran dan hati kita, maka hidup kita akan berubah.

Allah mau menghubungkan hidup kita dengan perasaan-Nya, selalu terhubung. Apa yang kita lakukan memengaruhi perasaan Tuhan, apa yang kita lakukan mewarnai, menggerakkan perasaan Allah. Memang jika dinilai dari sisi negatif, kita akan jadi merasa tersandra, terganggu, dan menjadi kurang nyaman. Tetapi positifnya–dimana memang ini yang harus jadi pilihan kita—kita punya kesempatan untuk menyenangkan hati Allah. Oleh sebab itu, jangan hidup di daerah netral tak bertuan, taruh Tuhan di depan mata kita.

Kalau kita membaca Alkitab, kita dapati bahwa Daud menjadi kekasih TUHAN, sebab Daud hidup di hadapan TUHAN. Yaitu bagaimana Daud meletakkan, menempatkan Allah di depan matanya supaya dia menjaga hidupnya, walaupun Daud masih bisa meleset. Firman Tuhan katakan, “Seperti Daud yang hidup di hadapan-Ku…” Artinya, dia selalu berhati-hati, selalu dalam kesadaran bahwa ia ada di hadapan Allah. Beberapa waktu yang lalu saya memproklamirkan satu gerakan, yaitu 24 hours in the presence of God (24 jam di hadirat Allah), selalu menghayati kehadiran Allah di dalam hidup kita.

Saya sungguh-sungguh mau mengajak jemaat memiliki kehidupan seperti ini. Lewat pengalaman hidup pribadi, saya merasakan frustasi karean masih melakukan kesalahan. Sudah minta ampun kenapa salah lagi? Kenapa gampang salah? Sampai kemudian saya belajar bagaimana hidup dalam kesadaran di hadapan Allah. Kalau kita sedang berdoa di ruang doa, rasanya begitu kuat hadirat Allah, tapi begitu keluar dari ruang doa, kenapa hadirat Allah yang kita nikmati dan rasakan di dalam ruang doa tidak kita rasakan di luar? Dan itu cenderung membuat kita sembarangan; sembarangan berpikir, sembarangan merenung, sembarangan berucap, sembarangan bertindak.

Tuhan sudah mengilhamkan kebenaran ini, tapi betapa sulitnya mengenakan belas kasihan Tuhan yang membawa saya seperti hari ini dan mulai benar-benar mengerti bagaimana berpikir kudus, merenung kudus, berucap kudus, dan selalu melirik perasaan Tuhan. Nah, sekarang kita mulai menyadari hal ini. Kita bersyukur karena kita bisa menyenangkan hati Tuhan, luar biasa. Jadi, miliki gairah: “Bagaimana aku menyenangkan hati Tuhan?” Saudara pasti memiliki pengalaman bagaimana ingin memberi hadiah yang terbaik untuk orang yang Saudara cintai agar bisa menyenangkan dia. Saudara pasti bisa merasakan gairah untuk memberi sesuatu untuk orang tua kita yang menyenangkan mereka.

Kita pasti memiliki gairah atau pernah memiliki gairah memberi sesuatu kepada orang yang telah menanam budi kebaikan kepada kita. Mengapa kita tidak memiliki gairah yang kuat untuk menyenangkan Dia? Kenapa kita tidak membakar hati kita untuk menyenangkan Dia? Hal itu terjadi karena tidak banyak orang yang sungguh-sungguh menghayati bahwa Allah itu hidup, hadir. Padahal kita bisa “bertemu” dengan Dia. Sejujurnya, ini karena kurangnya kita duduk diam di kaki Tuhan. Allah seperti balon yang melayang, lenyap, dan tidak tahu mana rimbanya, padahal Allah hadir di dalam hidup kita.

Banyak yang kita genggam, tapi kita tidak menggenggam Tuhan, itu masalahnya. Sehingga kita tidak mampu memiliki perasaan heart to heart, person to person, head to head dengan Allah. Padahal kalau kita sudah menghayati itu dari pertemuan dengan Tuhan setiap hari, maka kita bisa menaruh Tuhan di depan mata kita.

 

Teriring salam dan doa,

Dr. Erastus Sabdono

 

Jangan hidup di daerah netral tak bertuan, taruh Tuhan di depan mata kita.