Salah satu ciri dari kedewasaan rohani seseorang adalah menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan dan kesenangan hidup. Hal ini tidak dikenal oleh anak-anak dunia, juga orang-orang Kristen yang belum dewasa. Mereka tidak mengerti bagaimana menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kesenangan atau kebahagiaan. Kalau kita bertumbuh dewasa dan bisa menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan, maka kita bisa merasakan kemerdekaan dan kebebasan. Sebab, sesungguhnya yang membelenggu kita adalah kesenangan dunia. Apa pun yang menjadi kesenangan dan kebahagiaan seseorang selain Tuhan, akan membelenggu, menghambat pertumbuhan rohani, bahkan bisa membinasakan.
Tuhan menjadi kebahagiaan dan kesenangan, apakah itu bisa? Sangat bisa. Tetapi, memang menuntut tekad yang kuat, yang ekstrem sekali. Jika tidak ekstrem sekali, tidak bisa. Bagaimana supaya itu bisa kita alami? Cara berpikir kita harus diubah dulu. Pertama, kita harus benar-benar berpikir logis dan realistis. Ingat, hidup kita itu singkat, maka kita harus menggunakan waktu yang singkat ini untuk memiliki Tuhan. Orang yang tidak memiliki Tuhan akan binasa selama-lamanya. 70-80 tahun umur kita jika dibanding dengan kekekalan, tidak ada artinya sama sekali. Masalahnya, setan sering kali menipu dengan perkataan, “Mumpung kita masih hidup. Selagi kita masih ada di bumi, nikmati sebanyak-banyaknya yang bisa disediakan dunia.” Dan mereka perjuangkan itu tanpa batas. Filosofinya seperti yang dikatakan di dalam 1 Korintus, “Marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati.”
Hal ini kebalikan dari cara berpikir yang benar. Orang menganggap kalau kita berpikir hal-hal surgawi, kehidupan yang akan datang, itu sesuatu yang tidak logis dan tidak realistis. Justru inilah yang logis dan realistis. Kita harus mengubah cara berpikir kita. Kalau tidak mengubah cara berpikir, maka kita tidak akan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan. Jadi, bukan tanpa alasan pemazmur mengatakan, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi,” sebab ketika seseorang meninggal, seperti bangun tidur, matanya terbuka melihat kekekalan. Begitu melihat kekekalan, hidup itu seperti mimpi, singkat sekali. Syukur kita bisa menyadari hal ini sejak masih di dunia. Itulah pikiran yang logis dan realistis. Kalau kita tidak berpikir demikian, pasti kita duniawi. Berpikirlah betapa singkatnya hari hidup ini. Orang yang berpikir demikian, kata pemazmur, memiliki hati yang bijaksana.
Yang kedua, kita percaya bahwa kehidupan ini sudah rusak. Di dunia ini kita menghadapi keadaan yang sulit dan berat. Jangan berharap kita bisa menikmati kebahagiaan dengan kondisi dunia yang rusak. Tuhan tidak akan memberikan kebahagiaan puncak kepada manusia yang sudah rusak dan bumi yang sudah terlaknat. Percayalah bahwa ada kebahagiaan di kekekalan. Ini perlu kita ketahui, bahwa apa pun yang bisa kita nikmati dalam hidup ini, tidak mungkin klimaks, tidak mungkin puncak. Betapa celakanya kalau sampai kita menikmati hidup tanpa Tuhan beserta. Itu berarti pengkhianatan. Percayalah, dalam persekutuan dengan Tuhan, ketika kita berkomitmen menjadikan Tuhan satu-satunya kebahagiaan, apa pun yang kita nikmati, yang kita miliki, sesederhana, sekecil apa pun, itu menjadi lengkap dan membahagiakan.
Kita menantikan kebahagiaan yang sesungguhnya di langit baru bumi baru. Tetapi selama kita di dunia, ajaibnya, dalam persekutuan dengan Tuhan, segala sesuatu yang diberikan kepada kita, bisa dinikmati. Hidup kita singkat, dan tidak ada kebahagiaan puncak atau klimaks di bumi. Yang penting, bersama Tuhan kita bisa menikmati apa pun yang Tuhan percayakan. Ingat firman Tuhan, “Asal ada makanan dan pakaian, cukup.” Dengan demikian, kita menjadi kekasih Tuhan. Kalau kita mau diberkati Tuhan, maka kita harus hidup di dalam kelimpahan Tuhan, dan inilah jalannya. Tuhan menjadi kebahagiaan, Tuhan menjadi kesenangan kita.
Yang ketiga, kita tidak bisa bahagia sementara orang lain tidak bahagia, dalam konteks materi. Bagaimana kita bisa makan enak, tidur nyenyak, sementara melihat orang lain menderita? Kita tidak bisa bahagia dengan keadaan ini. Yang terakhir, keinginan-keinginan kita di bumi ini bisa menjadi kendaraan Iblis menghancurkan kita. Di langit baru bumi baru, jika kita memiliki keinginan-keinginan, maka keinginan-keinginan tersebut tidak akan menghancurkan kita karena sejak di dunia, kita sudah dilatih memiliki kesenangan hanya untuk menyenangkan Tuhan. Tuhan menjadi kebahagiaan kita.
Tuhan menghendaki manusia memiliki keinginan, Tuhan juga menghendaki manusia memiliki kesenangan atau kebahagiaan. Masalahnya, keinginan atau kehendak manusia diarahkan ke mana? Manusia harus punya keinginan, memiliki kehendak; tidak boleh pasif. Sebab jika bersikap pasif, manusia akan diterkam Iblis. Atau kalaupun aktif, justru diarahkan kepada arah yang salah, sehingga menjadi mangsa kuasa gelap. Manusia harus aktif dan mengarahkan keinginan atau kehendaknya kepada satu arah. Arahnya bisa menuju ke kerajaan gelap atau kerajaan terang; dunia atau surga; Tuhan atau yang lain. Ayo, kita memaksakan diri untuk ini; tanpa batas. Hidup kita singkat, kita tidak tahu kapan akan berakhir. Gunakanlah setiap kesempatan untuk bertumbuh, sampai kita bisa menjadikan Tuhan satu-satunya kebahagiaan, dan kita bisa mencintai Tuhan.
Salah satu ciri dari kedewasaan rohani seseorang adalah menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan dan kesenangan hidup.