Allah memiliki banyak ciptaan, sempurna, indah, luar biasa. Tetapi, hanya makhluk manusia yang dapat menyenangkan hati Dia, makhluk yang diberi pikiran dan perasaan. Dan dengan pikiran dan perasaan ini, manusia dapat mengasihi Tuhan atau tidak mengasihi Dia; manusia bisa memuliakan Tuhan atau tidak memuliakan Tuhan. Dan sebenarnya, ini suatu hal yang dahsyat atau luar biasa bahwa manusia memiliki kehendak. Selain membawa dirinya sendiri kepada kemuliaan kekal, juga bisa membawa dirinya kepada kehinaan kekal. Bisa menyenangkan, menyukakan hati Allah, tapi juga bisa mendukakan hati Allah. Bisa menjadi anak kesukaan Allah, tetapi juga bisa menjadi pemberontak. Kalau kita mengerti hal ini, kita bisa berkata, “Aku memilih untuk menyenangkan hati Tuhan,” seakan-akan hanya diri kita yang bisa menyenangkan hati Allah, seakan-akan.
Tentu Tuhan memberi kesempatan kepada semua orang untuk menyenangkan hati Tuhan atau tidak. Tetapi, seakan-akan hanya kita sendiri, sehingga kita bisa berkata, “Kalau bukan aku, siapa?” Tidak perlu mempersoalkan orang lain; apakah orang lain menyukakan hati Tuhan atau tidak, itu urusan masing-masing. Yang penting, kita sendiri bisa memperhadapkan diri kita di hadapan Allah dan menyenangkan Dia. Yang kemudian, tentunya kita menolong sesama kita untuk bisa bertindak, berperilaku, dan bersikap seperti kita bersikap. Tidak ada keindahan hidup ini tanpa menjadi anak kesukaan Allah. Tidak ada orang yang lebih berprestasi, tidak ada orang yang lebih agung, luhur, dan mulia daripada orang yang bisa menyenangkan hati Tuhan, menyenangkan hati Allah Bapa.
Di dalam Injil Matius 3:17, Allah Bapa menyatakan satu pernyataan sekaligus satu deklarasi, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.” Dan itu ditujukan kepada Tuhan Yesus. Jika kita mengaku Kristen, pengikut Kristus, tentu bukan saja kita menjadi orang Kristen, tetapi mengikut jejak-Nya. Mengikut jejak Yesus dengan sungguh-sungguh, sehingga kita menjadi serupa dengan Yesus, sesuai yang dikatakan dalam Filipi 2:5-7. Kita juga bisa berkata seperti Paulus berkata di Galatia 2:19-20, “Hidupku bukan aku lagi, tapi Kristus yang hidup di dalam aku.” Menjadi seorang yang diakui oleh Allah Bapa, “Inilah anak-Ku yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan,” harus kita terima sebagai kemutlakan, lebih mutlak dari menjadi seorang sarjana, lebih mutlak dari memiliki teman hidup, lebih mutlak dari memiliki anak, lebih mutlak dari memiliki fasilitas, rumah, mobil, atau harta dunia ini.
Mari kita goreskan di dalam hati kita, sampai kita bisa berkata, “The reason I live is to please Him. Alasan aku hidup adalah menyenangkan Dia,” mencapai kehidupan yang diakui oleh Allah, karena Allah merasakannya dan Dia tidak munafik. Tuhan berkata, “Ini anak-Ku yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan” adalah pencapaian yang harus kita miliki. Jangan merasa gagal hanya karena kita tidak berpendidikan tinggi. Tentu, kita harus memaksimalkan potensi untuk bisa memiliki gelar pendidikan supaya kita semakin efektif bagi pekerjaan Tuhan. Tapi bagi kita yang karena satu dan lain hal, tidak memiliki pendidikan tinggi, tidak memiliki gelar, jangan jadikan itu masalah. Mungkin kita juga tidak memiliki teman hidup, tidak memiliki anak, tidak memiliki keluarga, atau mungkin pernah berkeluarga tapi mengalami kegagalan berumah tangga, jangan merasa gagal. Kita masih memiliki satu kesempatan untuk mencapai keberhasilan yang bernilai abadi, yaitu pengakuan dari Allah: “Inilah anak-Ku yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan.”
Pasti orang-orang yang diakui oleh Allah Bapa sebagai anak yang berkenan kepada-Nya akan masuk ke dalam Kerajaan Allah, menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Dan ini satu kemutlakan. Sebutan atau panggilan kepada Yesus sebagai Tuhan tidaklah sah tanpa mengikuti jejak hidup-Nya, yaitu melakukan kehendak Bapa sampai diakui menyenangkan Dia, berkenan di hadapan Allah. Itulah sebabnya Paulus, di dalam 2 Korintus 5:9-10, mengatakan, “Baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” Dan ukurannya adalah melakukan kehendak Bapa atau berkenan kepada-Nya.
Tapi kuasa kegelapan, telah menipu banyak orang. Apa yang tidak mutlak menjadi mutlak, yang mutlak tidak dimutlakkan. Manusia menjadi sesat. Yang mutlak itu satu hal saja: berkenan di hadapan Allah, menyenangkan hati-Nya. Supaya suatu hari ketika kita berdiri di hadapan takhta pengadilan Allah, kita dijumpai berkenan. Kalau hari ini kita ditanya, “Apakah nanti kita didapati berkenan atau tidak?” Apa jawab kita? Pada umumnya kita akan menjawab, “Tidak tahu” atau “Mudah-mudahan nanti berkenan.” Ini keadaan yang berbahaya. Untuk sesuatu yang tidak berarti saja jika dibandingkan dengan masalah kekekalan, orang mau punya kepastian; misalnya asuransi. Mengapa untuk berkenan kepada Allah, kita tidak berusaha untuk memiliki kepastian? Kekekalan tidak boleh kita perlakukan dengan cara yang bodoh, seperti orang-orang yang tidak berakal.