Pada umumnya, hidup manusia difokuskan untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, yang oleh karenanya orang mempertaruhkan waktu, tenaga, pikiran, dan apa pun untuk karier. Sebab karier menghasilkan sesuatu yang bukan saja dapat memberi kelangsungan hidup, melainkan juga kebahagiaan dan harga diri. Padahal manusia adalah makhluk kekal. Ini benar-benar tidak seimbang dan suatu kebodohan. Dalam hal ini manusia kurang atau tidak berakal. Kalau hewan filosofinya adalah mari kita makan dan minum sebab besok kita mati, tetapi manusia seharusnya tidak demikian. Ironisnya, hampir semua manusia memiliki pola hidup seperti itu, mari kita makan dan minum, mari kita menikmati hidup sebab kita akan mati dan tidak hidup lagi.
Kematian bukanlah akhir perjalanan kesadaran diri. Kematian hanyalah transisi dari tubuh fana ke tubuh abadi. Dari kehidupan fana ke kehidupan kekal, dari kesadaran dengan tubuh fana ini kepada kesadaran kekal dengan tubuh kekal. Dengan tubuh kekal, seseorang dapat masuk ke tempat mulia dan bahagia. Tetapi juga bisa masuk ke tempat hina atau kebinasaan atau siksaan atau yang disebut sebagai api kekal. Jadi betapa bodohnya orang yang menjadikan sesuatu sebagai “segalanya,” di mana orang bisa mempertaruhkan apa pun demi sesuatu itu yang ternyata setelah diraih, hanya bersifat sementara atau temporal. Sementara di lain pihak, manusia adalah makhluk kekal.
Oleh sebab itu, tidak putus-putusnya kita harus selalu ingat, betapa berharganya kesempatan hidup ini. Sebab kesempatan hidup kita ini menentukan kekayaan abadi atau kehidupan mulia, kehidupan berharga dan bahagia di kekekalan. Jangan sampai kita menjadi kebal, merasa mengerti karena sudah dengar, padahal hidupnya tidak benar-benar dicengkeram oleh realitas kebenaran ini. Jadi, kita harus selalu ingat bahwa hidup sementara di bumi ini hanya untuk kehidupan yang akan datang sebagai anak-anak Allah; artinya sebagai yang menerima anugerah untuk menjadi anak-anak Allah, di mana kita diberi kuasa atau kemampuan untuk benar-benar berkeberadaan, berkualitas hidup sebagai anak-anak Allah dengan standar atau model kehidupan Yesus.
Kita harus sungguh-sungguh menggunakan kesempatan ini, karena untuk menjadi anak-anak Allah harus ada perjuangan dan pertaruhan segenap hidup kita. Banyak orang tidak menyadari hal ini. Banyak orang lebih memilih untuk memiliki dunia, daripada Kerajaan Allah. Banyak orang Kristen merasa tidak memilih neraka, tetapi masih membagi hatinya untuk dunia. Padahal firman Tuhan mengatakan, kita tidak bisa mengabdi kepada dua tuan, kita harus memilih salah satu. Banyak orang Kristen merasa tidak memilih neraka, tetapi masih hidup dalam percintaan dunia, masih berharap dunialah yang membuat dirinya merasa lengkap, utuh, bahagia, dan memiliki kehormatan. Oleh karenanya untuk karier, untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, mereka berani mempertaruhkan segenap hidup.
Jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu yang berharga untuk mengumpulkan harta di surga. Harta surga di sini maksudnya adalah kualitas diri seperti kehidupan yang dikenakan oleh Yesus. Sehingga kita dapat berkeadaan tidak bercacat di hadapan Allah. Salah satu penyebab tidak bertumbuhnya kedewasaan rohani dalam hidup kita sehingga kita masih seperti manusia lain pada umumnya adalah karena kita tidak menyadari masih banyak cacat karakter kita. Hal ini terjadi karena kita tidak sungguh-sungguh mengelola hidup yang Tuhan berikan. Kita abai terhadap proses pendewasaan yang semestinya kita jalani dengan baik.
Cacat karakter tersebut sama dengan yang dikemukakan oleh Yesus sebagai orang sakit. Kita lalai, kita tidak sungguh-sungguh menggunakan waktu untuk fokus pada pembenahan diri agar memiliki kualitas hidup seperti kualitas hidup yang dijalani oleh Yesus yang adalah standar kehidupan anak-anak Allah. Orang sehat tidak membutuhkan tabib atau dokter, tetapi orang yang sakit membutuhkan dokter atau tabib. Dalam Matius 9:12, Markus 2:17, Lukas 5:3, dan ayat-ayat lain yang berbicara senada, Tuhan Yesus menggunakan kata ‘kakos’ yang berarti keburukan. Lawan kata kakos adalah kalos, agatos. Yesus memilih kata ini karena bertalian dengan sakit secara psikis, jiwa, batin, bukan fisik.
Kalau sakit yang terkait dengan fisik, menggunakan kata astenia, malakia. Sakit fisik menyebabkan kematian fisik. Tetapi sakit batin, sakit rohani, cacat karakter menyebabkan kematian kekal. Dalam Wahyu 20 dikatakan, “Maut dan kerajaan maut itu dilemparkan ke dalam lautan api. Itulah kematian yang kedua dan setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis di dalam kitab kehidupan itu, dia dilemparkan ke dalam lautan api.” Namun ironis, banyak orang Kristen yang sudah tidak gentar lagi terhadap kata kematian kedua, neraka, atau api kekal. Hatinya sudah kebal terhadap kebenaran yang murni. Seperti yang dikatakan oleh firman Tuhan, yaitu orang-orang menyukai perkara yang menyenangkan telinga.
Ingat, hanya orang sakit yang memerlukan dokter, maka karena tidak merasa sakit, banyak orang Kristen tidak berurusan dengan Tuhan secara benar. Kalaupun berurusan dengan Tuhan, yang menjadi alasan adalah hanya persoalan atau masalah pemenuhan kebutuhan jasmani. Dan kenyataannya, tidak sedikit gereja menawarkan solusi dari masalah pemenuhan kebutuhan jasmani, penyakit jasmani, atau masalah yang menyangkut harga diri. Sebenarnya itu adalah kehidupan fana di dunia yang tidak mengarahkan jemaat untuk meratapi, menangisi, menyadari cacat karakternya.