Skip to content

Buta Rohani

 

Lukas 19:41 menuliskan, “Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya, kata-Nya: ‘Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau.’”
Perkataan Tuhan ini diucapkan 40 tahun sebelum Yerusalem dihancurkan Jenderal Titus dari Roma. Yang di dalam Injil dikatakan bahwa tidak pernah ada penderitaan yang terjadi di Yerusalem setragis itu. Sejarah mencatat bagaimana orang tua, orang muda, anak-anak, mayatnya tergeletak di jalan-jalan. Hal itu dilakukan oleh kekaisaran Roma karena ada orang-orang Yahudi yang mau menyulut pemberontakan terhadap Roma. Bait Allah yang sudah pernah rusak, dan dibangun kembali sejak sekitar tahun 16 sebelum Masehi, ikut dirusak. Dan menurut mitos, di bawah bait Allah itu terdapat emas. Maka, mereka berusaha untuk bukan saja merubuhkan Bait Suci yang menjadi pusat persatuan bangsa Israel, mereka hancurkan supaya bangsa Israel tidak memiliki simbol kebangsaan atau ikatan nasionalisme, namun mereka juga menggali fondasi dengan harapan akan memperoleh emas.
40 tahun sebelum peristiwa itu, tentu dengan marifat karunia Roh dari Bapa, Yesus melihat peristiwa tersebut dan menangisinya. Jarang kita menemukan ayat seperti ini. Yesus menangisinya. Lalu Yesus berkata, “Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu.” Seandainya bangsa Israel mengerti apa yang perlu untuk damai sejahtera hidup mereka saat itu dan saat-saat yang akan datang, maka bencana itu tidak akan pernah terjadi. “Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu,” maksud kata “mata” di sini bukan mata jasmani, melainkan mata hati atau pengertian. Betapa pentingnya mata. Kita yang memiliki mata normal, tidak pernah membayangkan betapa tragisnya orang yang tidak punya mata atau yang bermasalah dengan matanya; seperti terancam buta.
Tetapi, yang lebih penting dari mata jasmani adalah mata hati. Orang tidak punya mata jasmani, sulit hidup, tapi bisa ditanggulangi. Kalau masih punya telinga atau punya indra lain. Tapi kalau mata hati gelap, biarpun mata jasmaninya “melek,” telinganya bisa mendengar, indranya sempurna, percuma. Itulah sebabnya Yesus berkata, “Mata adalah pelita tubuh. Jadi kalau matamu menjadi gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” Kalau mata seseorang buta, dia perlu tongkat dan anjing untuk memimpin jalannya. Dan dia tentu menyadari kebutaan mata jasmaninya. Tapi kalau mata hati, mata rohani gelap, sering tidak disadari. Itu masalahnya. Makanya firman Tuhan mengatakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari segala sesuatu. Hatinya sudah membatu, siapa yang bisa memberitahu?”
Jadi kalimat “Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu,” tetapi penduduk Yerusalem sudah tidak mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteranya. Dan Tuhan kemudian menegaskan, “Sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu.” Kebutaan mata jasmani bisa terjadi atas orang-orang sakit yang prosesnya bertahap. Dari bisa melihat, mulai buram, sangat buram, setengah gelap, sampai gelap. Ternyata mata hati kita juga bisa begitu, kalau kita tidak menjaganya. Jadi, tidak sekaligus jadi gelap; lewat proses. Kejahatan manusia itu juga begitu. Sama dengan kesucian. Ada orang yang makin suci, makin suci, makin suci, sampai bukan tidak mau berbuat dosa; tapi tidak bisa berbuat dosa. Sampai yang namanya point of no return; titik tidak balik. Jadi tidak ada orang bisa beralasan, “Saya tidak mengerti, Tuhan, kalau itu salah” sebab dirinya sendiri yang membuat dirinya tidak mengerti; gelap dan buta.
Oleh sebab itu, hati-hatilah. Jangan seperti penduduk Yerusalem yang tidak mengerti apa yang perlu untuk damai sejahtera mereka. Mata hati mereka gelap, yang sampai titik tertentu mereka berseru: “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Saat itu mereka sudah ada di titik tidak balik. Jangan sampai hal ini terjadi atas hidup kita. Mengerikan. Maka, jangan melawan Tuhan. Mungkin kita berkata, “Saya tidak melawan Tuhan. Saya ke gereja. Saya melawan orang jahat.” Tentu bisa saja. Tapi coba tanyakan, apakah langkah hidup kita dari jam ke jam, hari ke hari, berkenan di hadapan Tuhan? Maka, kita harus belajar untuk bagaimana ada di hadirat Tuhan setiap saat.