Skip to content

Bukti Kesetiaan Kita

 

Galatia 1:10

“Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.”

Di ayat sebelumnya, Galatia 1:8, Paulus mengatakan, “Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.” Hal itu menunjukkan betapa murkanya Paulus terhadap ajaran sesat. Lalu bagaimana? Kita harus memberitakan Injil yang benar, walaupun orang tidak suka. Namun sebelumnya, hidup kita harus berubah. Kita harus tanggalkan semua cara berpikir logika duniawi, lalu kita ganti dengan logika rohani. Disuntikkan kebenaran, lalu setiap hari berjalan dengan Tuhan, baru kita benar-benar bisa berubah. Oleh sebab itu, kesetiaan kita ikut Tuhan Yesus bukan hanya pada waktu Tuhan mengubah air menjadi anggur, bukan hanya pada waktu Ia membuat orang buta melihat, timpang berjalan, orang kusta sembuh, tetapi ketika kita tidak mengalami berkat apa pun, kita tetap setia.

Maka, jika kita mau ikut Tuhan, kita harus mau makan daging dan minum darah-Nya; yang artinya menyatu dengan diri kita, mematikan semua dosa dalam diri kita, mengabdi sepenuh bagi Tuhan. Ironis, banyak komunitas Kristen yang hanya mau memanfaatkan Tuhan, lalu ke gereja memuji menyembah Allah. Seandainya kita hidup pada zaman Tuhan Yesus hidup di bumi, jangan-jangan kita termasuk orang yang berkata, “Salibkan Dia!” Seandainya kita adalah salah satu murid Tuhan Yesus, kita juga ikut meninggalkan Tuhan. Namun ingat, saat itu mereka belum tahu, sementara saat ini kita sudah tahu. Oleh sebab itu, jangan samapai kita melakukan kesalahan yang sama seperti mereka yang berkata, “Salibkan Dia!” atau menjadi murid tetapi tidak setia sampai mati.

Jadi mari kita bukan hanya bersama Tuhan pada waktu Ia mengubah air jadi anggur atau pada waktu Tuhan mencelikkan orang buta, menyembuhkan penyakit, dan dielu-elukan, melainkan juga ketika masuk Taman Getsemani, ketika berjalan di sepanjang Via Dolorosa, juga ketika naik ke Bukit Kalvari. Memang waktu itu tidak ada seorang murid pun yang ikut. Yohanes Pembaptis pun kecewa. Namun kita sekarang sudah tahu: Dia Raja dari segala raja. Bagaimana mengimplementasikan, mengaplikasikan konkret kesetiaan kita kepada Tuhan? Kesetiaan kita kepada Tuhan Yesus terbukti ketika kita bersama-sama dengan Dia masuk Getsemani, berjalan di sepanjang Via Dolorosa, bahkan sampai di kayu salib.

Kalau dahulu kita berkata, “Oh, Tuhan baik, luar biasa! Aku mencintai Engkau. Dia menyembuhkan dan menolongku.” Namun sekarang, kita mencintai Tuhan walau kadang-kadang Tuhan seperti meninggalkan kita, tidak merespons. Satu hal yang membuat kita kuat adalah pada waktu Tuhan Yesus di kayu salib berkata, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani (Allahku, Allahku, mengapa Kau tinggalkan Aku)?” namun Dia mengakhiri dengan kalimat, “Ke dalam tangan-Mu Kuserahkan roh-Ku.” Itu adalah bukti kepercayaan, kesetiaan yang luar biasa. Menaruh percaya itu tidak mudah, apalagi seakan-akan Allah memalingkan muka-Nya dari kita, padahal sebenarnya tidak. Pertanyaannya, seberapa kita serius menaruh percaya kepada-Nya, dan seberapa kita berani menumpahkan tetes keringat dan tetes darah kita yang terakhir, seperti yang dilakukan-Nya di kayu salib?

Sama seperti kalau kita mencintai seseorang, maka apa pun kita lakukan dengan senang, bahkan hidup kita tergairahkan dalam segala aspek. Kenapa semua gairah itu tidak kita sublim, kita pindahkan menjadi lebih mulia? Seperti bunga-bunga yang disuling lewat proses untuk menjadi minyak wangi. Kita sublim semua gairah kita untuk mencintai Tuhan. Saat ada orang yang kita cinta namun dia menolak dan membuang muka. Namun tetap saja kita berusaha. Kenapa kita tidak bisa begitu kepada Tuhan, yang mana Tuhan pasti tidak mungkin memalingkan muka-Nya dari kita, apalagi menolak cinta kita? Dia tahu kalau kita mencintai-Nya, itu dirasakan-Nya. Masalahnya, jangan-jangan ini adalah kesempatan kita yang terakhir. Kalau kita tidak mulai sejak sekarang mencintai Tuhan, maka kita tidak akan pernah bisa punya cinta yang benar kepada Tuhan. Allah yang kita percayai Allah yang hidup.

Ini adalah pilihan. Pelajari lalu pahami cara berpikir-Nya atau logika rohani-Nya. Jangan hanya memanfaatkan kuasa-Nya. Dunia bukan rumah kita. Kita hidup hanya untuk persiapan hidup yang sesungguhnya nanti, bukan di bumi ini. Kebahagiaan bukan di bumi ini, melainkan di langit yang baru dan bumi yang baru. Di bumi ini, kita hanya mengalami damai sejahtera melampaui segala akal dalam jiwa kita. Pasti ada salib yang kita harus pikul. Watak, karakter kita harus diubah dulu, baru Tuhan memercayai kita memikul salib. Satu kehormatan kalau kita bisa menderita bersama dengan Tuhan, sebab kalau kita menderita bersama dengan Tuhan, kita dimuliakan bersama-sama dengan Dia.