Skip to content

Bukan Hal yang Sederhana

 

Bukan hal yang sederhana—berarti hal yang sulit, yang berat, yang kompleks, dengan harga yang sangat mahal—untuk bisa menghidupkan Allah di dalam hidup kita, bagaimana Allah itu nyata di dalam hidup kita. Allah itu milik kita semua dan kita dimiliki oleh Allah. Kita harus memiliki optimisme, keyakinan bahwa kita bisa mengalami Allah seperti kekasih-kekasih Tuhan, tokoh-tokoh iman di Perjanjian Lama. Menghidupkan Allah di dalam hidup kita bukanlah sesuatu yang sederhana, ini sesuatu yang berat, yang rumit, yang kompleks. Pasti lebih kompleks dari pergumulan mencari nafkah, studi, karier, jodoh, berumah tangga, atau apa pun. Kalau sampai ada hal yang lebih kompleks atau lebih rumit dari hal mencari Tuhan, berarti Tuhan kurang berharga dibanding sesuatu tersebut. 

Coba kita perhatikan, ada saat di mana seorang pengusaha bukan mencari uang, melainkan ia dikejar uang, penghasilannya begitu banyak. Dia hanya jalan-jalan dari satu kota ke kota yang lain. Hal mencari uang merupakan hal yang tidak kompleks baginya, sehingga akhirnya uang juga menjadi tidak berharga bagi dia. Dia bisa beli apa saja dengan mudah, dan barang yang dibeli belum tentu dia nikmati. Berbeda dengan Tuhan. Kompleksitasnya itu melampaui segala kompleksitas. Orang bisa berkarier atau mencari nafkah dengan setengah hati, namun masih untung-untungan dia berhasil. Tapi tidak demikian halnya dengan orang yang mencari Tuhan. Orang yang mencari Tuhan untuk menemukan Tuhan benar-benar hidup di dalam hidupnya, harus melepaskan seluruh kehidupannya demi Dia.

Sebab orang yang mau menemukan Tuhan dan menghidupkan Tuhan adalah orang yang tidak menghidupkan siapa pun dan apa pun, bahkan dirinya sendiri. Orang bisa memikirkan sesuatu, tapi tidak merasakan apa yang dia pikirkan. Tapi Tuhan menjadi satu-satunya objek yang sungguh-sungguh kita jumpai dan kita rasakan. Dan kalau kita serius berurusan dengan Tuhan, ada pengalaman-pengalaman baru yang kita peroleh yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Namun, pengalaman dengan Tuhan ini, sesuatu yang nyata. Yang kita pahami ketika kita mengalami keadaan itu atau mengalami Tuhan dan merasakannya. Dan itu bertahap terus. Kita tidak akan pernah jenuh atau bosan, dan herannya, selalu kompleks. Dari satu kompleksitas ke kompleksitas berikut, karena Allah yang tidak terbatas. Kalau dikatakan kompleksitas, bukan berarti menjadi rumit sehingga kita tidak bisa menjangkaunya. 

Jadi, ketika kita rajin berdoa dan punya doa pribadi,  kita seperti memasuki wilayah baru atau kawasan baru yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Jadi, betapa konyolnya kalau kita hanya menalar Allah dan apa yang kita pahami tentang Allah itu kita kurung dalam sangkar yang namanya buku, karya ilmiah, atau jurnal. Tetapi itulah yang terjadi di banyak Sekolah Tinggi Teologi, yang merupakan warisan dari generasi ke generasi. Pencarian Tuhan dalam persekutuan langsung dengan Allah mesti jalan bersama. Kalau tidak, orang tidak merasakan Allah, dia hanya memikirkan Allah, tapi merasakan dunia. Dia pandai berbicara mengenai Allah, dan bisa selebar-lebarnya, tapi hatinya mencintai dunia, hatinya senang dipuji. 

Orang-orang seperti ini pasti tidak akan rindu Yerusalem Baru, tidak akan rindu bertemu dengan Tuhan, karena dia hanya memikirkan Tuhan, tapi tidak merasakan Tuhan. Sebab untuk merasakan Tuhan, kita harus mengalami Tuhan. Kita belajar kebenaran, merasa ada hal-hal yang luar biasa yang membuat kita sudah merasa punya pengetahuan begitu rupa, lalu kita pun merasa bahwa keselamatan kita lebih berkualitas, walau tanpa diiringi dengan perjumpaan dengan Allah setiap hari. Bersyukur kita dihajar Tuhan, sebab kita malu kalau kita menoleh ke belakang dan menyadari betapa bodohnya kita. Tapi Tuhan dalam kesabaran yang luar biasa, menunggu kita sampai kita mengerti. 

Kita belajar kebenaran, tapi kita masih bisa punya hobi-hobi, masih membuka peluang untuk menikmati dunia. Tapi hari ini, kita bukan hanya belajar kebenaran, melainkan kita memburu Tuhan, mencari Tuhan, mematikan semua keinginan dunia, sampai puncaknya kita memekikkan genderang perang. Kita mau masuk ke kedalaman lautan Tuhan untuk memperoleh mutiara-mutiara yang selama ini belum pernah disingkapkan, tapi kita juga mau menghidupkan Tuhan di dunia kita hari ini, yang mana Tuhan mati dalam kehidupan banyak orang, mati dalam gereja-gereja.