Skip to content

Bertuhan

Ke gereja bukan indikator satu-satunya bahwa seseorang itu bertuhan. Ada ciri-ciri lain yang harus dimiliki dalam kehidupan seseorang yang bisa dikatakan bertuhan. Tidak ada manusia yang berkualitas jika ia tidak bertuhan. Sehebat apa pun prestasi manusia, sekaya apa pun, sebanyak apa pun gelar yang disandang, seluas apa pun kekuasaan yang dimiliki, setinggi apa pun jabatan, pangkat yang dia miliki, tidak ada artinya sama sekali jika ia tidak hidup bertuhan. Dan orang yang tidak bertuhan, tidak layak dihidupkan terus di kekekalan, di langit baru bumi baru. Mereka akan dibuang ke dalam api kekal, tidak perlu dilestarikan. 

Itulah sebabnya firman Tuhan mengatakan, “Kesia-siaan di atas segala kesia-siaan.” Ketika ayat itu muncul dari seorang berhikmat di Perjanjian Lama, belum ada keselamatan dalam Yesus Kristus, artinya manusia belum memiliki jalan untuk menemukan Bapa, Allah semesta alam, yang memberi nilai atas individu. Kesia-siaan di atas segala kesia-siaan maksudnya adalah apa pun yang dimiliki oleh manusia—pangkat, kekayaan, kecantikan, kedudukan, status—adalah sia-sia. Pertanyaan yang harus kita perkarakan di dalam hidup kita masing-masing: Apakah kita sudah bertuhan selama ini? 

Orang bertuhan itu pasti beragama, tapi orang beragama belum tentu bertuhan. Jadi, jangan kita kecewa melihat orang yang rajin ke gereja, beragama, namun kelakuannya tidak seperti orang yang memiliki etika, sewenang-wenang terhadap sesama, berduri, menyakiti sesama. Karena dia hanya bergereja dan beragama, tapi tidak bertuhan. Bahkan majelis, aktivis gereja, dan pendeta pun belum tentu bertuhan. Sejujurnya, sering kita dibodohi oleh sistem-sistem keberagamaan; ini namanya politik beragama. Bukan berarti kita tidak menghormati pendeta atau hamba Tuhan. Kalau kita mulai tidak bertuhan, maka semakin hari kita semakin tidak mampu bertuhan. “Urat rohani” kita akan semakin tipis, sampai akhirnya putus, yang membuat kita tidak bisa bertuhan.

Sebagaimana orang jahat yang semakin jahat sampai titik di mana ia tidak bisa balik lagi. Dan sebaliknya, orang yang terus membangun kehidupan bertuhan akan sampai pada titik tidak bisa balik di mana ia tidak bisa mencintai dunia; dia memiliki hidup yang berkualitas. Dan orang seperti ini akan dilestarikan, dihidupkan di kekekalan. Untuk itu, mari kita belajar pada Abraham, bapak orang percaya. Kehidupan orang percaya harus berpola Abraham. Kita harus melihat dinamika hidupnya. Abraham itu tidak beragama. Ia tinggal di Lembah Sumeria yang merupakan lembah yang paling subur dan makmur pada zamannya. 

Dari hasil penggalian arkeologi, ditemukan di sana sudah ada perpustakaan dari lempengan-lempengan. Perkakasnya juga menunjukkan kecerdasan dari orang-orang Lembah Sumeria itu.  Abraham memiliki sesembahan yang bernama Elohim Yahweh. Pada suatu saat, ia diperintahkan oleh Elohim Yahweh untuk meninggalkan Ur Kasdim, meninggalkan kampung halaman dan pergi ke negeri yang Tuhan akan tunjukkan. Tuhan tidak memberi peta perjalanan. Abraham hanya menurut saja ke mana Tuhan bawa dia pergi. Dan ternyata sampai akhir hidupnya, Abraham tidak pernah menemukan negeri itu (Ibr. 11). Sebab ternyata itu adalah negeri di balik kubur. Abraham tidak pernah kembali ke Ur Kasdim, walaupun menghadapi masa-masa sulit, masa kekeringan yang hebat. Dia begitu submit kepada Elohim Yahweh; total submission. 

Abraham tidak beragama, tapi ia bertuhan. Dia hidup hanya menuruti apa yang Allah kehendaki. Di dalam Kejadian 12, Tuhan berjanji akan membuat Abraham memiliki keturunan, dan dari keturunannya segala bangsa diberkati. Abraham akan memiliki banyak anak, sebanyak pasir di laut dan bintang di langit. Tetapi dia harus menunggu selama seperempat abad. Dan ketika anaknya sudah mulai dewasa, Allah memerintahkan Abraham untuk menyembelih anaknya, menjadikannya korban bakaran. Sampai di sini pun Abraham tetap taat. Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan Abraham saat itu. Luar biasa, bukan? Ketaatan Abraham sudah teruji.

Bagaimana dengan kita? Allah yang kita sembah adalah Allah yang adil, Ia akan memberi mahkota, setelah kita lulus ujian. Namun, berarti kita harus ujian dulu. Kapankah itu? Waktu mobil kita diserempet, itu ujian. Atau di saat-saat tertentu di mana hormon istri tidak stabil, entah memikirkan orang tuanya yang lagi ribut, entah masalah anak atau apa, lalu sebagai suami bagaimana kita bersikap? Kalau kita menuruti manusia lama, kita jadi bersalah. Kita sedang berproses dikembalikan ke rancangan Allah, makanya kita harus belajar untuk terus berhubungan dengan Sang Khalik, mengerti pikiran dan perasaan-Nya, dan melakukannya; itulah bertuhan.