Skip to content

Bertekun

 

Ada satu hal yang tidak diketahui oleh banyak orang bahwa dalam pengiringan kita kepada Tuhan Yesus, dalam pencarian kita akan Tuhan, kita akan menghadapi beberapa hal, yaitu: Yang pertama, kita menemui kesulitan. Betapa tidak mudahnya Allah itu ditemui dan dialami. Yang kedua, kita melihat kenyataan antara yang sungguh-sungguh mencari Tuhan dengan mereka yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan seakan-akan tidak berbeda. Bahkan kadang-kadang kita melihat kenyataan, orang-orang yang tidak mencari Tuhan kelihatan lebih makmur, lebih tidak dilanda masalah, hidupnya lebih nyaman. Bagi kita yang tetap setia dan tekun di tengah-tengah keadaan seperti ini, akan teruji. Mencari Tuhan, mengalami Tuhan bukan satu hal yang mudah, dan keadaan kita seakan-akan sama dengan mereka yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan. Bahkan tidak jarang, seakan-akan mereka yang tidak mencari Tuhan keadaannya bisa nampak lebih baik secara jasmani. 

Kalau kita mengerti bahwa kita harus bertekun dan giat, maka kita harus betul-betul nekat, seperti janda yang dikemukakan di Lukas 18. Dalam menghadapi keadaan sulit, di luar kemampuannya, dia nekat sampai bisa menaklukkan hakim yang tidak takut akan Allah dan yang tidak peduli siapa pun. Lukas 18 mengajarkan agar kita tekun. Dimulai dengan kalimat, “Hendaknya kita berdoa tiada berkeputusan…” Doa adalah persekutuan dengan Allah—bukan hanya melipat tangan, menekuk lutut, dan mengucapkan kalimat doa—yang harus kita perjuangkan, walaupun itu berat dan sukar. Bagi kita, itu menjadi ujian ketekunan yang akan membuahkan karakter ilahi, dan yang akan membuktikan kesetiaan kita kepada Allah. 

Tapi di pihak lain, hal itu bisa membuat hati banyak orang dikeraskan. Orang yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan akan berkata, “Di mana Allahmu? Mana buktinya? Apa bedanya kamu dengan kami?” Mereka mengeraskan hatinya. Kenyataan seakan-akan Allah tidak nyata, membuat orang yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan akan berkata, “Tuhan itu omong kosong. Kenyataannya, keadaanmu sama saja seperti kami, bahkan kami lebih baik, mana Allahmu? Kami tidak melihat bukti kenyataan hadir-Nya Tuhan dalam hidupmu.” Ingat, bagaimana Firaun dikeraskan? Sampai pada saat 10 tulah diturunkan, Firaun memakai cara lain untuk menanggulangi keadaan itu. Dia menipu Musa berulang-ulang dengan menjanjikan pembebasan bagi bangsa Israel; “Musa, katakan kepada Allahmu supaya menghentikan tulah ini. Kalau tulah ini dihentikan, aku beri kamu kesempatan untuk berbuat bakti kepada Allahmu di Sinai.” 

Namun setelah tulah diangkat, Firaun tidak memberi kesempatan bangsa Israel keluar dari Mesir. Berulang-ulang itu terjadi, dengan cara demikian Firaun berpikir Allah bisa ditipu. Firaun sudah tidak bisa lagi memiliki pikiran sehat, yang ada hanyalah kebencian dan dendam terhadap Musa, bangsa Israel, dan Elohim Yahweh. Akhirnya, ia membiarkan orang Israel keluar. Tapi dia masih punya satu rencana: memburu bangsa Israel dan membunuhnya di perjalanan. Allah tidak mengkutak-kutik perasaan Firaun. Jangan kita berpikir Allah mengkutak-kutik perasaan seseorang lalu membuatnya menjadi keras hati atau sebaliknya menjadi lembut hati. Peristiwa-peristiwa hidup yang membuat keras atau lembutnya hati seseorang. 

Bagi kita, keadaan di mana kita merasakan dan mengalami betapa sulitnya Allah dialami, dan kenyataan seakan-akan keadaan kita yang mencari Tuhan sama dengan mereka yang tidak mencari Tuhan bisa membuahkan ketekunan, sampai kita memiliki iman yang tak bersyarat. Karena kita mampu melihat apa yang tidak dilihat oleh mata manusia, meyakini apa yang tidak bisa diyakini manusia. Kita memiliki ketekunan dan memiliki ketaatan kepada Tuhan tanpa syarat, taat walau apa pun keadaannya. Maka, kita jangan memanfaatkan Tuhan. Kita harus mengerti, Allah semesta alam yang wajah dan hadirat-Nya kita cari adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi. Kebesaran-Nya itu tak mampu kita pahami. Dia adalah Allah yang luar biasa, bukan Allah yang murahan.

Kita harus sungguh-sungguh menginvestasikan waktu, pikiran, dan tenaga kita kepada-Nya. Kesucian kita harus kesucian maksimal. Kita harus berani bertekad, tidak melukai Tuhan, sekecil apa pun, sehalus apa pun kesalahan itu. Kita harus berani berkata, “Buat aku sempurna seperti Bapa.” Artinya, segala hal yang kita lakukan selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Berperkaralah dengan Tuhan. Baru kita bisa mengalami Tuhan, dan banyak hal yang akan kita alami nanti. Dan buah hidup kita akan nampak, kesucian hidup dan kerelaan berkorban untuk Tuhan. Tidak ada kesenangan apa pun kecuali Tuhan dan Kerajaan-Nya. Itulah hasil perjumpaan kita dengan Tuhan. 

Seriuslah dengan diri kita sendiri. Kalau ada kebiasaan-kebiasaan yang salah, ada dosa-dosa yang masih kita lakukan, marahi diri kita sendiri. Nanti di dalam konteks yang lain, kita bisa berkata, “Tuhan, apa yang aku belum berikan pada-Mu? Apa yang Engkau kehendaki untuk kulakukan, namun tidak kulakukan? Kalau Abraham bisa memberikan Ishak, aku juga bisa memberikan Ishakku.” Hidup ini singkat dan tragis. Apa yang kita nantikan? Jadi kalau dalam mencari Tuhan terasa begitu sulitnya, sejatinya, berapa harga yang kita berani bayar? Jadi kita harus lari sekencang-kencangnya dalam memburu Tuhan.

Seriuslah dengan diri kita sendiri. Kalau ada kebiasaan-kebiasaan yang salah, ada dosa-dosa yang masih kita lakukan, marahi diri kita sendiri. Nanti di dalam konteks yang lain, kita bisa berkata, “Tuhan, apa yang aku belum berikan pada-Mu? Apa yang Engkau kehendaki untuk kulakukan, namun tidak kulakukan? Kalau Abraham bisa memberikan Ishak, aku juga bisa memberikan Ishakku.” Hidup ini singkat dan tragis. Apa yang kita nantikan? Jadi kalau dalam mencari Tuhan terasa begitu sulitnya, sejatinya, berapa harga yang kita berani bayar? Jadi kita harus lari sekencang-kencangnya dalam memburu Tuhan.