Skip to content

Berkat Umat Perjanjian Baru

 

Ibrani 11:13 menuliskan: “Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu …” Yang dijanjikan bukanlah tanah Kanaan yang kini diperebutkan di Palestina. Lalu, janji yang mana? Ayat itu melanjutkan: “… tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini.” Melambai-lambai dari jauh bukan secara fisik, melainkan dalam iman. Negeri itu tidak kelihatan, tetapi pada ujung maut Abraham mengerti: “Oh, ternyata di sana.”

“Sebab mereka yang berkata demikian menyatakan, bahwa mereka dengan rindu mencari suatu tanah air. Dan kalau sekiranya dalam hal itu mereka ingat akan tanah asal yang telah mereka tinggalkan, maka mereka cukup mempunyai kesempatan untuk pulang ke situ …” Namun Abraham tidak menoleh ke belakang. Ia kesepian, tidak punya sanak saudara. Ketika kelaparan melanda, ia tidak kembali ke Ur-Kasdim, melainkan memilih pergi ke Mesir—bahkan nyaris istrinya diambil Firaun. Demikianlah integritas Abraham.

“… tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air surgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.” Kita pun harus sungguh meyakini dan menerima bahwa tanah air kita adalah setelah kubur, bukan di bumi ini. Karena itu, kita tidak boleh terikat dengan kesenangan dunia. Tidak salah memiliki rumah, mobil, atau fasilitas hidup, tetapi jangan terikat.

Yesus berkata: “Aku pergi menyediakan tempat bagimu, dan apabila Aku telah pergi dan menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada” (Yoh. 14:2–3). Ia juga berkata: “Kumpulkanlah bagimu harta di surga, bukan di bumi. Sebab di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:19–21). Kekristenan tidak memberi ruang bagi orientasi duniawi. Itu hanya berlaku pada Perjanjian Lama, yang memang masih berfokus pada hal-hal jasmani. Tetapi Perjanjian Baru sepenuhnya mengarahkan kita kepada Kerajaan Kristus yang akan datang. Suasana itu bahkan sudah dapat kita alami mulai sekarang. Karena itu, bila kotbah hanya diarahkan pada pemenuhan kebutuhan jasmani, memakai ayat-ayat janji berkat jasmani, maka kekristenan yang sejati akan lumpuh.

Akibatnya, banyak orang yang ke gereja tetap duniawi. Mereka tidak menghayati bahwa dunia ini tragis, bahwa kita sedang dipersiapkan untuk mewarisi Kerajaan Surga bersama Kristus. Kita harus cerdas. “Berkat Abraham”—bahwa melalui dia semua bangsa di bumi diberkati—bukanlah berkat jasmani, melainkan menunjuk kepada Yesus Kristus. Justru jika kita melihat hidup Abraham, ia tidak mencari berkat jasmani. Ia mempertaruhkan hidupnya, rela menjadi “kartu mati” di mata manusia, demi menuju negeri yang bahkan tidak ia ketahui.

Karena itu, bila kita tidak mengubah cara berpikir, tetap duniawi, maka kita tidak akan dikenal Tuhan. Kita tidak akan diperkenankan masuk ke dalam keluarga Kerajaan Allah atau ke rumah Bapa. Ironis, banyak orang percaya belum berani akil balik rohani: berfokus kepada kebenaran, diarahkan kepada langit baru dan bumi baru. Kita harus berani memindahkan fokus hidup!

Ingat, kematian tidak bisa dikalahkan dengan kehidupan—yakni dengan filsafat dunia: “Karena nanti kita mati, maka mari kita senang-senanglah.” Itu filsafat manusia. Tetapi Yesus mengajarkan bahwa kematian dikalahkan dengan kematian: mematikan diri, memikul salib, menyerahkan nyawa. Tuhan Yesus berulang kali berkata: “Siapa yang tidak rela kehilangan nyawa, ia tidak akan memperoleh nyawa. Tetapi siapa yang kehilangan nyawa karena Aku, ia akan memperolehnya.” Banyak orang akhirnya mengkhianati kesetiaan kepada Kristus demi keluarga, kesenangan dunia, atau kondisi hidup. Tiga hal ini sering membuat orang Kristen enggan memikul salib. Berkat bagi umat Perjanjian Lama adalah kemakmuran. Tetapi berkat bagi umat Perjanjian Baru adalah penderitaan yang membentuk kita menjadi serupa dengan Kristus.