Skip to content

Bergaul dengan Allah

 

Pernahkah kita berpikir, apakah Tuhan bangga kalau berfoto dengan kita? Kalau kita berfoto dengan seorang pejabat, fotonya bisa kita pajang, tapi pejabat itu belum tentu—bahkan pasti tidak—memajang foto kita. Tapi percayakah kita bahwa kalau kita berfoto dengan Tuhan Yesus, Ia akan memajangnya? Ada banyak tempat di Rumah Bapa karena kita berharga dan Dia mengasihi kita. Sekarang yang menjadi persoalannya adalah seberapa berharganya Tuhan bagi kita? Maka kalau kita bergaul dengan Dia dan menjadi kekasih Tuhan, pasti berdampak. Masalahnya, banyak orang—termasuk para hamba Tuhan—hanya mengalami Tuhan sebatas nalar, tapi Tuhan tidak dialami. Mereka bicara tentang Tuhan seakan-akan begitu akrab dan kenal, padahal tidak bersentuhan dengan Tuhan. Mereka bisa berdoa begitu lancar kepada Tuhan di dalam fantasi, Tuhan yang sudah tergambar, dan punya bantuan visual di pikiran kita tentang Allah yang kita percaya. 

Maka kalau orang sudah terjebak dalam dinamika kekristenan, dinamika beragama, hanya menalar Allah, dia sesat. Biasanya mereka memandang rendah teolog lain yang lebih muda, apalagi kalau dia sudah profesor, sudah punya pengalaman mengajar dari Sekolah Tinggi Teologi. Jadi, Tuhan tidak boleh hanya dinalar; namun Tuhan harus dinalar dengan logika kita. Logika harus maksimal digunakan untuk memikirkan tentang Tuhan dan menggali Alkitab dengan prinsip-prinsip hermeneutik, prinsip-prinsip eksegesis, menafsir dengan benar, melihat latar belakang Alkitab, linguistik, bahasanya, dan lain sebagainya. Tetapi yang lebih penting adalah menjumpai langsung Tuhan, dan itu bukan monopoli mereka yang sekolah di Sekolah Tinggi Teologi. Jadi jangan ditipu oleh setan dengan suara, “Kamu enggak belajar teologi, kamu tidak akan bisa mengenal Tuhan.” Hal itu salah. 

Tidak bermaksud meremehkan teologi atau ilmu tentang Tuhan, tetapi itu tidak boleh menyandera Tuhan. Setiap kita memiliki kesempatan untuk mengenal secara pribadi dalam interaksi langsung yang nyata dan memiliki pengetahuan tentang Dia yang cukup sampai kita menjadi seorang yang berkenan di hadapan Allah. Seorang ibu di pedalaman jauh dari peradaban dan jauh dari pendidikan, dia serius mencari Tuhan ke gereja, berdoa, maka sejatinya dia sudah berteologi, yang mana itu cukup untuk dia dalam berinteraksi dengan Tuhan. Sebab Tuhan bisa kita temui dan Tuhan itu transempiris, melampaui batas pengalaman, pengalaman siapa pun. Tuhan itu transenden, bukan imanen, melampaui segala akal. Dia tidak terbatas.

Jangan disandera oleh buku-buku di perpustakaan. Bukan tidak boleh belajar ilmu tentang Tuhan; kita harus menalar Allah secara maksimal, tapi perjumpaan dengan Tuhan itu mutlak. Dan itu merupakan catatan abadi. Sekarang, catatan abadi apa yang kita miliki dengan Tuhan? Kalau Tuhan memberi kita satu porsi pengenalan akan Dia, apakah porsi ini telah kita serap? Apakah orang menyerap porsi pengenalan yang Tuhan sediakan bagi masing-masing kita harus melalui sekolah teologi? Tentu tidak. Betapa rusaknya dinamika hidup kekristenan seperti ini. Masalahnya, kita sudah terlalu banyak bergaul dengan dunia. Sehingga kita tidak memberi ruangan yang cukup untuk bergaul dengan Allah.

Kita punya kesempatan bergaul dengan Allah itu luar biasa. Karena Tuhan yang hidup, Tuhan yang menghendaki kita hidup di dalam kehendak-Nya. Jangan sampai kita dilempar ke lautan api seperti yang yang ditulis di Wahyu 20:15. Tapi orang yang berjalan dengan Tuhan, itu kematiannya pun berharga karena kehidupannya berharga; Wahyu 14:13, “Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini.” “Sungguh,” kata Roh, “supaya mereka boleh beristirahat, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” Kalau kita berjalan dengan Tuhan dan mengalami Tuhan, maka kita seperti orang kecanduan yang mengharapkan porsi yang lebih banyak, mau yang lebih besar, stadium yang lebih tinggi. Kita bisa doa 20 menit, lalu 30 menit, nanti bisa 1 jam, dan bisa lebih. Bahkan nanti sampai pada level tidak ada saat kita terpisah dari Allah, selalu bersama, dan itu kita minta. 

Ketika kita belajar untuk bisa berjalan dengan Tuhan, kita harus selalu mau hal-hal yang baru. Jadi, setiap hari kita seperti starting from zero (seperti dari 0 lagi). Maka, jangan tidak mencari Tuhan. Kalau Tuhan benar-benar ada, kita harus mengalami dan membuktikan Allah itu ada secara nyata dalam hidup kita. Yang penting dari pertemuan kita dengan Allah, perjalanan kita dengan Allah adalah kita memiliki keluhuran akhlak, keluhuran moral. Dan itu akan terasa. Cinta kita kepada sesama, beban kita untuk penderitaan orang, perjuangan kita untuk keselamatan orang, itu nampak bahwa kita sudah bertemu Tuhan. Ketidaktertarikan dengan keindahan dunia dan kerelaan berkorban apa pun untuk Tuhan menunjukkan bahwa kita sudah berjumpa dengan Dia. Pastikan bahwa setiap kita mengalami ini.