Skip to content

Berdamai dengan Tuhan

 

Banyak orang sombong padahal ada satu titik di mana dia tidak akan sanggup menghadapi realitas tanpa Tuhan. Saat-saat seperti itu, harapan kita hanya Tuhan. Tetapi kalau kita tidak jauh-jauh hari membangun hubungan dengan Tuhan secara benar, maka kita tidak akan pernah memiliki Dia. Di Alkitab jelas tertulis, Tuhan berkata, “Aku tidak kenal kamu, enyahlah kamu dari hadapan-Ku.” Makanya sekarang ini, selama kita masih memiliki kesempatan, berdamailah dengan Tuhan. Tidak ada yang bisa menemani kita kecuali Tuhan. Ini adalah realitas yang suatu hari setiap kita pasti mengalaminya. Kalau kita asuransikan mobil, belum tentu kita tabrakan dan belum tentu kita menabrak, tapi kita asuransikan. Pabrik, rumah, yang belum tentu terbakar dan tidak diharapkan terbakar, kita tetap mengasuransikan. 

Mengapa untuk hal yang pasti bahwa kita akan pulang sendiri tanpa siapa pun, kita tidak mempersiapkan diri dengan baik? Mazmur 73:25-26 mengatakan, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.” Raja Saul yang tadinya dipilih menjadi raja, tapi tidak dengar-dengaran, ia mengadakan korban bakaran—yang mestinya dilakukan oleh seorang nabi atau imam—tapi raja Saul melakukannya. Dengan melakukan atau mengadakan korban, dia mengambil alih kedudukan seorang imam atau nabi. Dia tidak bergantung kepada Allah dan menunggu dengan sabar kedatangan Samuel. Dia tidak menghormati Tuhan. Maka Samuel meninggalkannya.

Kalau Tuhan sudah mengetuk palu-Nya, maka tidak ada yang bisa membatalkan. Kalau orang sudah sampai tingkat menghujat Roh Kudus, tidak ada orang yang bisa memperbaiki. Sadarkah kita bahwa sebagian kita ini sebenarnya sedang menuju level menghujat Roh Kudus? Sekarang belum. Kita mendukakan Roh Kudus, tapi kalau mendukakan terus-menerus, maka kita memadamkan-Nya. Kalau kita memadamkan Roh Kudus, maka selanjutnya kita sudah menghujat. Ketika kita mendukakan Roh Kudus, Roh Kudus masih membimbing, karena begitu sabar-Nya Tuhan. Namun, kalau kita tidak berbalik, maka kita tidak akan bisa terselamatkan.

Dalam Perjanjian Lama, berbalik artinya bertobat (Ibr. shuv). Dalam hal ini, mereka bisa seketika berbalik, karena berbaliknya itu hanya menyangkut hukum dan objek penyembahan, termasuk melakukan Sabat dan lain-lain, kembali menyembah Allah di bait Allah. Berbaliknya itu lebih mudah. Tetapi dalam kekristenan, bertobat atau berbalik itu tidak satu kali, karena berbalik atau bertobat di dalam kekristenan adalah metanoia, artinya pikiran yang dibarui, perubahan pikiran yang harus berlangsung terus-menerus, sampai pada titik yang Alkitab katakan memiliki hak penuh masuk Kerajaan Surga, atau keselamatan menjadi milik yang pasti. Jadi ketika seseorang mendukakan Roh, lalu ia berbalik, namun itu tidak bisa seketika menyenangkan Roh. Tidak mudah, karena standar hidup orang Kristen itu melakukan kehendak Allah. 

Kalau agama pada umumnya, melakukan hukum halal-haram, boleh-tidak boleh, yang pembuktiannya mudah atau verifikasinya mudah. Tetapi dalam kekristenan, hukumnya adalah Tuhan sendiri; pikiran dan perasaan Allah. Itulah sebabnya dalam 2 Korintus 5:9-10, Paulus mengatakan, “Aku berusaha untuk hidup berkenan kepada Allah.” Ukurannya, Tuhan berkenan atau tidak, berangkat dari pikiran dan perasaan Allah. Dan itu sinkron, presisi, tepat dengan kehendak Allah, bukan tulisan verbal, atau hukum. Dan untuk bisa melakukan kehendak Allah, perlu perubahan pikiran terus-menerus. Jadi, orang yang berpikir nanti suatu hari ia akan sungguh-sungguh mulai bertobat, mungkin ia tidak akan punya waktu yang cukup untuk mengejarnya. 

Jadi, kalau sekarang kita masih mendukakan Tuhan karena tidak presisi melakukan kehendak Allah, maka tidak seketika kita bisa menyenangkan Dia. Ini soal perasaan dan pikiran, bukan soal dulu membunuh, sekarang tidak membunuh. Tapi perubahan cara berpikir ini terus membuat kita mampu memiliki pikiran dan perasaan Allah, sehingga segala sesuatu yang kita lakukan sesuai dengan pikiran, perasaan Allah. Itulah sebabnya dalam Filipi 2:5-7 dikatakan agar kita memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Jadi, jangan menunda. Suatu kali kita akan tidak punya kesempatan lagi. Just now or never. Sekarang atau tidak usah sama sekali. Kita harus berpikir begitu. Menyenangkan Tuhan itu dimulai dari perkara-perkara kecil. Lakukan itu. 

Berdamailah dan berurusanlah dengan Pribadi yang tidak kelihatan, namun sejatinya, Ia hidup dan nyata. Maka, dalam segala hal yang kita lakukan, selalu kita pertimbangkan apakah yang kita lakukan ini berkenan di hadapan Tuhan atau tidak. Kalau kita memperkarakan dengan sungguh-sungguh, tidak mungkin Roh Kudus tidak memberi tahu. Jangan sampai di ujung maut baru nanti kita tidak disertai Allah, karena memang kita tidak menyertai Allah. Jangan berpikir Tuhan itu selalu baik dan murah hati—betul, Allah itu baik dan murah hati—tapi kalau kita menyia-nyiakan anugerah-Nya, Tuhan bisa berkata, “Aku tidak kenal kamu.” Seperti firman Tuhan katakan, “Kalau hari ini engkau mendengar suara-Nya, jangan mengeraskan hatimu.”