Waktu seorang anak manusia masih kanak-kanak, apa yang diucapkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atau apa yang diucapkan tidak dia mengerti, orang tua biasanya menerima. Orang tua hanya tersenyum dan mengerti. Tetapi hal itu tidak boleh berlangsung terus atau selamanya. Suatu kali anak harus sudah mulai mengerti dan memenuhi apa yang diutarakannya. Demikian pula dalam hubungan kita dengan Tuhan. Pujian dan penyembahan kita itu akhirnya meliputi seluruh kehidupan kita. Jika tidak, maka tidak ada satunya kata dan perbuatan, atau mengucapkan kata-kata yang dia tidak mengerti. Kalau orang-orang Kristen baru, bisa dimengerti, karena memang orang Kristen baru. Tetapi kalau sudah dewasa, dia harus ada dalam tingkat kedewasaan.
Ketika di hadapan Tuhan, kita menyatakan cinta kepada Tuhan, siap kerja untuk Tuhan, rela mempersembahkan hidup bagi Tuhan, tapi hidup keseharian kita tidak membuktikan apa yang kita katakan, maka kita berbau busuk di hadapan Tuhan. Sebab pujian dan penyembahan kita meliputi segenap aspek hidup kita. Kita tidak bisa menjadikan pujian penyembahan ini bagian dari seremonial liturgi kebaktian. Jadi, apa yang kita lakukan di hadapan Tuhan ini mewakili seluruh perjalanan hidup kita, dari menit ke menit, dari jam ke jam. Dan orang yang sungguh-sungguh mau bertuhan, sungguh-sungguh mau masuk Kerajaan Surga, sungguh-sungguh mau menjadi umat pilihan, sungguh-sungguh menjadi anak-anak Allah, harus terus berusaha menyinkronkan apa yang dia nyatakan di hadapan Tuhan dengan kehidupan setiap hari.
Maka kalau seseorang memiliki waktu berdoa, waktu dialog dengan Tuhan, semakin dia banyak duduk diam—jika ia berdoa dengan sikap hati yang benar—maka doa itu akan memengaruhi hidupnya. Mungkin sampai sekarang juga banyak orang tidak tahu—bahwa bagi orang percaya, doa adalah napas—walaupun mereka mengucapkan kalimat itu. Seperti orang bernapas, menarik oksigen dan membuang CO2, maka pada waktu kita berdoa, Tuhan mulai mengajar kita untuk merajut kehidupan. Apakah yang kita kemukakan di hadapan Tuhan itu sinkron dengan kehidupan kita setiap hari? Kalau tidak, bukan hanya munafik, tetapi tidak menghormati Tuhan, mencoba menipu Tuhan. Seharusnya ini membuat kegentaran dalam hidup kita. Sebab kalau kita berkata, “Aku menyembah Engkau, Tuhan,” itu berarti kita memberi nilai tinggi. Apakah kehidupan kita dari menit ke menit telah memberi nilai tinggi Tuhan?
Semakin kita hidup kudus—benar-benar tidak menyentuh dosa dan tidak memiliki kesenangan kecuali hanya mau menyenangkan Tuhan—semakin hidup kita harum di hadapan Tuhan dan semakin pujian kita indah terdengar di telinga-Nya. Jangan mata kita menjadi buta dan pengertian kita menjadi gelap, sembarangan mengatakan menyembah, memuji Tuhan, memuliakan Tuhan, tapi hidup kita setiap hari tidak memberi nilai tinggi Tuhan. Itu penipuan. Apakah kita pikir Tuhan itu bodoh atau tidak punya perasaan? Ingatlah, Tuhan punya perasaan. Kualitas pujian penyembahan kita bukan hanya ditentukan oleh irama musik atau indahnya syair dan vokal kita, melainkan bagaimana kehidupan kita setiap hari ditenggelamkan di hadirat Allah. Sudah saatnya kita benar-benar hidup suci, tidak melakukan, tidak menyentuh dosa sekecil apa pun, sehalus apa pun. Sudah saatnya kita tidak memiliki kesenangan kecuali menyenangkan Tuhan. Sudah saatnya kita tidak memiliki kerinduan selain bertemu dengan Tuhan dan selalu bersekutu dengan Allah.
Bayangkan kalau seorang suami atau istri menikmati kebersamaan hanya di ranjang, setelah itu tidak jelas ke mana suami pergi, ke mana istri pergi. Kualitas macam apa yang dimiliki pasangan itu? Kenikmatan kita bukan hanya pada waktu kita berdoa, kita menyembah, kita meledakkan emosi, perasaan yang hanya fantasi, tapi seharusnya di kehidupan setiap hari kita juga sungguh-sungguh berhubungan dengan Tuhan. Mari kita belajar untuk mencintai Tuhan secara bulat dan utuh, seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di Markus 12:30, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu.” Sampai kita menemukan cinta kita dan kita bisa berkata, “Yang aku perlu hanyalah diri-Mu, satu-satunya,” maka penyembahan kita menjadi harum.
Kalau kita tidak sampai pada titik bercinta dengan Tuhan, maka kita tidak mungkin bisa memuja Tuhan dengan benar. Maka betapa luar biasa kalau kita mendapat kesempatan menjadi kekasih Tuhan dan pujian kita harum bagi-Nya. Dunia akan lenyap, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah, orang yang benar-benar bersekutu dengan Tuhan, menjadi kekasih abadi-Nya. Percintaan dengan Tuhan itu luar biasa. Maka kita bisa mengerti kenapa Abraham tidak ragu-ragu mempersembahkan anaknya Ishak, karena dia begitu mencintai Yahweh, Allahnya. Dan kita juga bisa mengerti kenapa pemazmur berkata, “Yang kuingini Engkau saja.” Biarlah pikiran dan hati kita dibukakan, kita harus rela kehilangan apa pun dan siapa pun agar kita bisa melekat dengan Yahweh, Allah Bapa kita.