Skip to content

Berbasis pada Kekudusan Allah

 

2 Korintus 4:16

“Sebab itu kami tidak tawar hati. Tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.”

Kalimat “tidak tawar hati” atau “memperhatikan” berasal dari bahasa Yunani, skopeo (σκοπέω), yang artinya memikirkan dengan sangat serius. Pertanyaannya, seberapa kita serius memikirkan hal yang tidak kelihatan? Ini nanti berkaitan dengan akar segala kejahatan, cinta uang. Karena kalau kita masih memperhatikan yang kelihatan—maksudnya kita masih mengutamakan hal-hal bendawi atau materi—berarti kita masih memiliki akar segala kejahatan. Dulu, bangsa Israel orientasinya berpikir pada berkat jasmani—tanah yang berlimpah susu dan madu, kerajaan Israel yang jaya, dan hal itu tidak dinilai salah? Tetapi, masuk zaman Perjanjian Baru, ketika Kerajaan Allah dihadirkan, maka kita sebagai umat pilihan harus memilih: kerajaan kegelapan atau Kerajaan terang? Kita tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Kalau kita masih mengingini dunia ini, maka kita tidak layak menjadi anak-anak Allah.

Ironi, banyak pendeta mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama seakan-akan itu menjadi standar hidup orang percaya. Ini logika duniawi, walaupun di situ menggunakan Tuhan. Ada pujian dan penyembahan, namun masih menggunakan logika duniawi. Ketika masuk zaman Perjanjian Baru, diterapkan logika yang berbasis pada dunia yang akan datang dan pada kekudusan Allah. Wah, itu luar biasa! Jadi, kalau kita melihat gereja yang mengelaborasi bagaimana pujian penyembahannya bagus, ada bendera, tarian—bukan tidak boleh—tetapi jangan sampai kita menghidupkan kembali pola agama Yudaism. Kita tidak boleh melupakan Yudaism; kita tidak akan bisa mengerti rahasia-rahasia Alkitab tanpa memahami Yudaism. Namun, pola-pola lahiriahnya tidak boleh kita adopsi.

 

Firman Tuhan katakan, “Maka hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Yang artinya; Tidak memperhatikan yang kelihatan, tetapi yang tidak kelihatan. Kalau Tuhan Yesus membahasakannya dengan istilah ‘kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.’ Sedangkan Paulus mengatakan, “Pikirkan perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Carilah perkara yang di atas, pikirkan, dan jika Kristus yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kita pun akan menyatakan diri bersama-sama dengan Dia dalam kemuliaan.” Jadi tujuan akhir logika kita adalah dimuliakan bersama Tuhan Yesus. Sehingga kita boleh tidak membuka peluang untuk menikmati dunia ini. Maka sekarang kita mengerti kebenaran ucapan Tuhan Yesus, bahwa orang kaya sukar masuk surga. Di sinilah kelas standar kekristenan yang harus kita kenakan. Dan kalau kita berani nekat, selangkah demi selangkah, kita bisa. Itu pasti bisa. Masalahnya, kalau seseorang sudah lama hidup secara duniawi, itu membuat dia tidak sanggup memikirkan hal yang tidak kelihatan itu. Pijakan berpikirnya tidak ada.

Ayat berikutnya mengatakan, “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya.” Penderitaan Paulus tidak ringan, tetapi logika dia melihat penderitaan itu ringan. Karena Paulus berbasis pada dunia yang akan datang. Sehingga penderitaan pun tidak dipandang sebagai penderitaan. Kalau kita menghayati kebesaran Allah Bapa, maka kita tidak lagi mengharapkan ke depan ada hari esok atau hari buruk, karena yang penting bagaimana kita melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Di dalam kesaksiannya, Paulus berkata, “Sengsara dan penjara menanti aku, sesuai dengan yang Roh Kudus taruh di dalam diriku. Aku berjalan dari kota ke kota; penjara dan sengsara menunggu aku.” Coba sekarang kita teduh dulu. Apa yang paling kita pikirkan yang menggerakkan hidup kita? Ada orang yang main judi karena dia menaruh harapannya di sana.

Pengharapan membuat semangat hidup. Karena itulah, kalau ada seorang ditinggal pacar, yang hatinya ditaruh sepenuh ke pacar itu, dia merasa tidak punya hidup lagi dan dia bisa nekad bunuh diri. Atau seorang yang ditinggal pasangan hidup yang sangat dia cintai karena dikhianati, dia bisa merasa dunianya runtuh. Jadi, pengharapan apa yang menggerakkan hidup kita? Logika orang percaya seharusnya tidak mengharapkan hari baik atau hari buruk, tetapi dari waktu ke waktu melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Orang seperti ini baru disebut menerima kelegaan. Kelegaan atau perhentian, atau anapauso (ναπαύσω) yang termuat dalam Matius 11:28, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Ketika kita berhenti dari semua keinginan dan kesenangan, di situlah kita lega. Bukan lega karena punya rumah, sudah punya jodoh atau karena memiliki ini dan itu. Jadi, baik kita makan atau minum, atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan semua untuk kemuliaan Allah. Itulah perhentian. Itulah cara mengakhiri jalan hidup kita.