Skip to content

Berani Masuk ke Dalam Ketidakpastian

 

Ini kabar baik, bahwa kita menjadi anak-anak Tuhan itu dipanggil untuk boleh memiliki pikiran Tuhan. Itu luar biasa! Tapi mengubah pikiran manusia menjadi pikiran Tuhan perlu waktu panjang. Murid-murid Tuhan Yesus pun pada mulanya ikut gelombang besar orang Yahudi yang duniawi yang mau mengangkat Yesus sebagai raja. Lalu, mereka—Petrus khususnya—mau menahan Tuhan Yesus ke Yerusalem supaya jangan disalib. Padahal itu pikiran salah. Lalu mereka minta supaya menjadi hulubalang-hulubalang, jadi menteri-menteri, kalau Tuhan Yesus jadi raja di bumi ini. Mereka tidak mengerti maksud Tuhan Yesus. Setelah bangkit dari kubur pun, murid-murid masih berkata, “Kapan Tuhan memulihkan kerajaan bagi Israel?” Pikirannya masih berorientasi duniawi. Tetapi satu hal yang dimiliki oleh para murid yang harus kita contoh adalah mereka setia terus sampai terbuka pikirannya.

1 Korintus 2:6-7, “Sungguhpun demikian, kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan. Tetapi, yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia yang sebelum dunia dijadikan telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita.”

Kata ini penting, “kemuliaan kita.” Apakah kita percaya bahwa ada kemuliaan yang Tuhan sediakan bagi kita? Percaya berarti berani masuk ke dalam ketidakpastian. Waktu Abraham disuruh keluar dari Ur-Kasdim, dia tidak tahu negeri mana yang hendak dituju. Bahkan sampai mati pun Abraham tidak tahu negeri apa itu, dan Tuhan tidak memberitahu bahwa dia tidak akan pernah menemukan negeri itu di bumi ini (Ibr.11). Namun, walaupun sampai mau mati dia tidak menemukan negeri itu, dan dia punya kesempatan balik ke Ur-Kasdim, dia tidak balik. Itu luar biasa! Dia percaya saja. Bahkan untuk hal-hal yang tidak bisa dia mengerti, dia percaya saja.

Tuhan berkata kepada Adam dan Hawa, “Buah yang lain boleh kamu makan, tapi buah yang satu ini jangan kamu makan. Pada hari kamu memakan buah itu, kamu akan mati!” Namun, Iblis memberikan “kabar baik” untuk Hawa yaitu Injil yang palsu, “Hawa, kalau kamu makan buah ini, kamu tidak mati. Kamu menjadi seperti Allah.” Hawa melihat buah itu dan merasa buah itu menarik untuk dimakan, juga sedap kelihatannya. Ketika Iblis berkata begitu, apa kira-kira yang timbul dalam pikiran si Hawa? “Kenapa Allah menyembunyikan ini daripadaku?” Mulai timbul kecurigaan kepada Tuhan, maka dia makan buah itu.

 

Setan itu liciknya luar biasa. Dia tawarkan injil yang palsu, yang memberikan banyak kenyamanan. Sementara Injil yang benar menyuruh kita untuk masuk jalan sempit, meninggalkan bangunan pola berpikir duniawi. Dan itu benar-benar susah. Tapi, itu adalah jalan satu-satunya. Namun Tuhan itu baik. Dia bukan hanya baik, tapi sangat baik. Baiknya di mana? Dia beri kemuliaan untuk kita. Kalau kemuliaan disediakan, yang lain pasti disediakan, asal kita hidup bertanggung jawab.

1 Korintus 2:8, “Tidak ada dari penguasa dunia ini yang mengenal-Nya. Sebab kalau sekiranya mereka mengenal-Nya, mereka tidak menyalibkan Tuhan yang mulia.” Termasuk orang-orang Yahudi yang diberi makan roti, mereka mau mengangkat Tuhan Yesus jadi Raja. Namun Tuhan menolak (Yoh. 6). Akhirnya mereka berkata, “Salibkan Dia!” 1 Korintus 2:9, “Tetapi seperti ada tertulis: apa yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia, semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.”

Yesaya 64:4-5, “Tidak ada telinga yang mendengar dan tidak ada mata yang melihat seorang Allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan Dia, hanya Engkau yang berbuat demikian. Engkau menyongsong mereka yang melakukan yang benar dan yang mengingat jalan yang Kau tunjukkan.” Kita harus lebih memercayai kekuatan kehendak-Nya dan kekuatan jalan-Nya, bukan kekuatan kuasa-Nya. “Sesungguhnya, Engkau ini murka sebab kami berdosa terhadap Engkau kami memberontak sejak dahulu kala.” Karenanya, marilah kita bertobat. Jangan merasa tertekan membaca firman ini. Biar firman ini jatuh dalam hati kita, terukir dalam kalbu dan mengubah kita. Sebab yang berbahagia adalah orang yang mendengar firman Tuhan dan yang melakukannya.