Skip to content

Berani Barter

Tidak ada yang lebih menyenangkan, membuat sukacita, dan menghibur hati Allah, selain dari orang-orang yang memiliki kehendak bebas tetapi memilih mencintai Allah dan melakukan apa yang berkenan sesuai kehendak-Nya. Dan kita harus memaksa diri kita sendiri untuk ada di trek ini. “Keselamatan kita bukan karena perbuatan baik,” itu benar. Karena Yesus mati di kayu salib, bukan karena kita telah berbuat baik. Tetapi kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitan-Nya dimaksudkan agar Dia menjadi yang sulung di antara banyak saudara (Rm. 8:29). Yaitu supaya kita mengikuti jejak-Nya. Tuhan Yesus sudah ada di surga, tetapi Dia meninggalkan jejak. Jejak yang diikuti oleh orang-orang yang mengasihi Allah, dan bisa serupa dengan Yesus. Yang Bapa bisa mengevaluasi, menilai, merasakan, dan menyatakan: “Ini anak-Ku yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan.” Jangan ada hal yang lebih menarik dari hal ini. Jangan ada yang kita pandang lebih mulia dari hal ini. Kita harus memantapkan tujuan hidup kita, agar hari-hari yang kita jalani, kita isi dengan usaha untuk mencapai tujuan ini, yaitu bagaimana menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Orang-orang yang menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah yang dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus, pasti orang-orang yang berkualitas seperti Yesus, mulia menurut pandangan Allah. Hanya orang yang mulia, yang menemukan kemuliaan Allah, yang layak dimuliakan. Tentu bersama Yesus. 

Itulah sebabnya firman Tuhan mengatakan: “Carilah dahulu Kerajaan Allah” (Mat. 6:33). Persoalan yang lain, jangan menjadi prioritas, karena itu yang dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah (Mat. 6:32). Ini berarti bahwa lebih dari segala sesuatu, Kerajaan Allah adalah prioritas. Dan kita harus mengalami suasana Kerajaan Allah. Maksudnya adalah agar kita menjadi orang-orang yang hidup dalam ketertundukan mutlak. Dan inilah yang membangun kehidupan yang menyukakan hati Allah. Kita ingat bagaimana pada mulanya, murid-murid Yesus pun berkelahi satu dengan yang lain karena mau menjadi orang yang terkemuka di dalam kerajaan yang mereka bayangkan; kerajaan versi mereka. Tapi Yesus mengatakan di depan Pilatus, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” Dan Petrus akhirnya bisa mengatakan itu di 1 Petrus 1:4, “… untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu.” 

Karenanya kemudian di ayat 12, Petrus juga berkata, “Letakkan seluruh pengharapanmu pada penyataan kedatangan Tuhan.” Ini tidak mudah, apalagi bagi mereka yang punya kedudukan dan uang. Kita harus menjadi orang yang benar-benar realistis. Tetapi ini bertolak belakang dengan pandangan orang yang sudah telanjur rusak oleh filsafat, filosofi, prinsip, dan selera dunia. Mereka pandang kita orang yang utopis, utopia; pemimpi, tidak realistis. Sejatinya, kita adalah orang-orang yang realistis, berakal sehat, karena kita memandang segala sesuatu dari perspektif atau sudut kekekalan. Pasti banyak di antara kita yang merupakan orang yang gagal dalam studi, karier, rumah tangga. Mari, jangan jadikan masalah. Jangan memandang itu sebagai suatu “kecelakaan.” Kalau kelimpahan itu membuat kita masuk neraka, untuk apa? Bahkan itu adalah mimpi buruk.  Jadi jangan kita merasa minder karena rumah tangga kita berantakan, atau berkeadaan tidak baik di mata orang. Lewati saja. Namun kalau kita punya rumah tangga baik, ekonomi baik, puji Tuhan. Tapi gunakan semua untuk kemuliaan Allah. Jangan membuat kita tenggelam. Hidup ini serba tidak menentu. Tapi kalau kita sudah menjadi kesukaan hati Allah, kita menjadi istimewa bagi-Nya. Kita harus terus bertumbuh sampai Kerajaan Surga itu menjadi satu-satunya dunia kita. Dan kita berani transaksi barter. 

Kebenaran ini ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan mengenai seorang peladang atau petani yang menemukan harta yang tersimpan di dalam tanah. Pada mulanya, dia bertani. Tapi ketika ia menemukan harta yang terpendam, dia menjadi ekstrem. Dia menjual seluruh miliknya untuk memperoleh ladang tersebut (Mat. 13:44-46). Perumpamaan ini kita harus fokuskan pada faktor transaksionalnya, dimana dia berani menjual seluruh miliknya untuk membeli ladang itu. Tahukah kita bahwa sejatinya kita mempunyai mutiara yang dapat kita miliki kalau kita ‘menjual’ seluruh milik kita? Namun selama kita masih merasa memiliki sesuatu selain Tuhan, kita tidak bisa menyenangkan hati Allah. Biasakan dalam kekosongan itu. Dan percayalah, bahwa harta surgawi lebih besar nilainya. Kita semua punya harga yang sama di hadapan Allah. Jiwa kita kekal. 

Dua perumpamaan mengenai peladang dan pedagang yang mencari mutiara tadi, punya dua persamaan. Pertama, keduanya menemukan sesuatu yang dipandang berharga. Kedua, keduanya melakukan transaksi barter. Dan Paulus menunjukkan di Filipi 3:7-8, “tapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dia, aku melepaskan semuanya dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Kita harus berani menginvestasikan hidup kita untuk mengenal Allah. Tapi kita belum dapat dikatakan berani barter jika belum sampai melepaskan semuanya dan menganggapnya sampah. Kita tidak bisa menghindari barter, karena Yesus sendiri berkata melepaskan segala sesuatu. Hanya orang yang berani barter yang dapat menjadi penghiburan bagi-Nya. 

Kita belum dapat dikatakan berani barter jika belum sampai melepaskan semuanya dan menganggapnya sampah.