Banyak orang berfantasi mengenai Tuhan. Allah dikonsep, dikonstruksi di dalam pikiran manusia. Yang paling menyedihkan, hari ini banyak teolog membuat definisi tentang Allah, lalu merasa seakan-akan sudah berhadapan dengan Dia. Mereka rajin membaca pandangan para teolog, menganalisis pemikiran Kristen sepanjang sejarah, lalu menyusunnya dengan indah. Akhirnya Tuhan diperlakukan seperti mesin yang bisa dimainkan. Padahal Allah harus ditemui, bukan sekadar dipelajari.
Bukan berarti berteologi itu salah. Namun kita harus realistis menghadapi realitas hidup. Mereka yang bergelut di dunia usaha (marketplace) tentu mengerti kerasnya perjuangan hidup: memulai dagang kecil-kecilan, bersusah payah mencari nafkah. Jika pendeta hanya bolak-balik buku tanpa pergumulan nyata, seringkali itu menjadi fantasi yang jauh dari kenyataan. Celakanya, kerusakan rohani seperti ini sudah begitu parah sampai ia sendiri tidak sadar akan kesalahannya. Yang paling mengerikan adalah tidak adanya kesadaran bahwa suatu hari setiap kita harus berhadapan dengan Allah dan mempertanggungjawabkan hidup. Jika kita hidup dalam kesadaran bahwa Allah ada—Allah yang hidup, Allah yang perasaannya harus kita jaga—maka kita akan lebih hati-hati dalam berbicara, berpikir, dan bertindak.
Banyak orang sebenarnya belum siap menjadi manusia seutuhnya. Filosofi hidupnya sederhana: “Mari kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Mereka hanya ingin menyelamatkan nyawa di bumi. Kalau itu model orang Israel di zaman Perjanjian Lama, yang orientasinya berkat jasmani, masih bisa dimengerti. Tetapi kita hidup di akhir zaman. Orang percaya dipanggil untuk memproyeksikan hidupnya ke Kerajaan Surga. Bahkan soal menikah pun bisa menjadi tidak penting—ada orang yang demi Kerajaan Allah memilih tidak menikah. Paulus adalah contohnya. Itu hanya bisa dipahami oleh mereka yang mengerti kasih karunia.
Masalahnya, banyak orang datang kepada Tuhan dengan motivasi keliru: supaya hidup nyaman di bumi. Kalau punya persoalan, mereka menyerahkannya agar ditolong Tuhan. Memang tidak pergi ke dukun, tetapi motivasinya sama: demi kepentingan diri. Yang lain menyerah karena pasrah—hidup boleh, mati boleh—biasanya sudah di titik putus asa. Memang ada sisi baik: menyerahkan pada kehendak Tuhan. Tetapi sejatinya, belum rela bila akhir yang buruk pun harus diterima.
Ada pula orang yang menyerahkan hidupnya untuk pelayanan. Para pelayan Tuhan biasanya di sini. Namun seringkali terselip agenda pribadi. Padahal sejatinya, setiap orang Kristen adalah hamba Tuhan. Dahulu kita hamba dosa, kini kita hamba Allah. Jangan berpikir pendeta itu hamba Tuhan, sedangkan jemaat adalah hamba setan. Atau pendeta itu rohaniwan, jemaat duniawan. Tidak. Semua kita adalah hamba Tuhan, hanya panggilannya berbeda. Memang menjadi pendeta ada panggilan khusus, tetapi bukan berarti hanya pendeta yang hamba Allah.
Namun ada satu bentuk penyerahan yang paling sejati, yaitu penyerahan yang dewasa. Kita harus memilih: menyerahkan diri kepada dunia atau kepada Tuhan. Tidak boleh dua-duanya. Sebab Yesus berkata: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada dua tuan” (Mat. 6:24). Jika kita menyerahkan diri kepada dunia, terasa enak. Sebab kita bisa melakukan apa saja yang cocok dengan daging. Nafsu kita dipuaskan. Tetapi jika kita menyerahkan diri kepada Tuhan, itu masalah—karena kita justru dibelenggu oleh Dia. Namun sesungguhnya, itulah belenggu yang memerdekakan.
Sebelum kita menghadap pengadilan Allah, mari kita berbenah. Kita harus benar-benar terikat kepada-Nya. Penyerahan diri berarti kita tidak lagi punya kepentingan pribadi. Ketika berdoa, kita tidak lagi mengatur Tuhan. Misalnya, saat orang yang kita kasihi sakit, kita tentu ingin memohon kesembuhan. Tetapi kini kita belajar: jangan biarkan keinginan kita mengganggu kebijaksanaan Allah. Kita harus rela berkata: “Terserah Tuhan.”
Jika kita menyerah dengan penyerahan yang dewasa, maka apa pun yang kita alami—baik atau buruk—tidak kita anggap sebagai celaka, tetapi sebagai kebijakan Tuhan.
Penyerahan yang dewasa memang sulit. Tetapi Tuhan tahu penyakit karakter kita, sehingga Ia izinkan berbagai peristiwa terjadi untuk mendewasakan kita. Dalam penyerahan sejati, kita tidak lagi memiliki kepentingan diri. Dan kita tidak akan menyesal memiliki penyerahan yang benar ini. Seringkali dunia di sekitar kita tidak mengerti. Kita dianggap aneh. Tetapi inilah kehidupan yang Yesus ajarkan. Marilah kita memilih jalan ini, sebagaimana Yesus sendiri menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa.