Skip to content

Basis Berpikir

 

Setiap orang berpikir dan bertindak berdasarkan filosofi hidup yang diyakininya sebagai kebenaran. Bagi orang beragama, tentu kitab suci atau ajaran yang diyakini sebagai kebenaran akan menjadi dasar dari seluruh cara berpikir dan perilakunya. Kebenaran yang diyakini melahirkan berbagai model atau gaya hidup, sebab kebenaran itulah yang membangun suatu basis berpikir. Kalau dalam dunia militer, basis menunjuk pangkalan tempat pasukan mulai melakukan operasi menggempur musuh atau bertahan menghadapi serangan musuh. Basis juga biasanya menjadi tempat di mana gudang persenjataan berada, persediaan logistik, serta tentara dikumpulkan. Tetapi dalam konteks ini, kita lebih melihat pengertian basis sebagai asas atau dasar. 

Berbasis artinya menjadikan sesuatu sebagai pijakan dalam berpikir. Hal ini yang membentuk gaya hidup dan yang mendasari atau melandasi seseorang melakukan segala tindakan. Dengan demikian, betapa pentingnya memiliki basis berpikir, karena ini menentukan kualitas hidup seseorang di hadapan Allah dan menentukan kekekalannya. Ada dua basis berpikir: yang pertama, basis berpikir pada kehidupan di dunia hari ini. Dan hampir semua orang berbasis pikir ini. Kedua, basis berpikir pada kehidupan yang akan datang, di Langit baru bumi baru. Bagi kita orang percaya atau umat pilihan, kita harus menentukan salah satu. Tidak boleh berpijak pada dua-duanya, harus salah satu. Sebab kita adalah orang-orang yang diproyeksikan untuk dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus, sebagai anak-anak Allah yang memerintah bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Maka kita harus berbasis pikir seperti Yesus. 

Ketika Yesus dibawa oleh Iblis ke atas gunung dan kepada-Nya ditunjukkan kemuliaan atau keindahan dunia, disanalah Yesus dibujuk untuk memiliki basis berpikir yang pertama yaitu dunia ini, hari ini dan di bumi ini. Namun Yesus menolaknya dan lebih memilih basis yang kedua, yang dibahasakan dengan menyembah Tuhan Allah dan hanya berbakti kepada-Nya. Yesus memilih dunia yang akan datang yaitu Kerajaan Bapa yang di mana diri-Nya akan menjadi Raja dalam ketertundukan kepada Bapa. Yesus sendiri menjadi Tuhan dan penguasa bagi kemuliaan Bapa, bukan untuk kemuliaan diri-Nya sendiri.

 

Dunia di mana penghuninya tidak hidup dalam ketertundukan mutlak kepada Allah, itu bukan surga. Surga sendiri sebenarnya memiliki dua pengertian; pertama, lokasi dan sarananya. Kedua, menunjuk pada suasana atau atmosfer di mana ada ketertundukan mutlak dalam pemerintahan Allah. Jadi, seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, bumi ini adalah lokasi dan sarana yang sempurna, seperti yang Allah katakan sungguh amat baik. Akan tetapi, karena tidak ada ketertundukan dan memberontaknya manusia, sehingga bumi tidak menjadi surga. Nanti di Langit baru bumi baru, ada lokasi dan sarana yang kita pahami sama seperti bumi ini namun dalam pemerintahan Allah sepenuhnya. Jadi disana pasti tidak bercacat. Sebab dunia kita ini adalah dunia yang dihuni oleh pemberontak sehingga kesempurnaan menjadi tidak lagi sempurna.

Kalimat doa, “Datanglah Kerajaan-Mu,” itu bukan dalam arti lokasi dan sarana, melainkan dalam arti yang kedua, yaitu pemerintahan Allah kita hadirkan dalam hidup kita. Artinya kita hidup dalam ketertundukan kepada Allah sebagai kepala pemerintahan. Keindahan ciptaan Allah yang sempurna itu telah menjadi rusak karena pemerintahan Allah tidak diselenggarakan. Tetapi, nanti di Langit baru bumi baru yang dalam suasana pemerintahan Allah, akan berlangsung keindahan dunia yang sempurna. Inilah pilihan kita. Untuk itu, kita tidak boleh berjejak pada dua basis, tetapi harus memilih salah satu. Apakah berpikir dalam basis dunia kita hari ini di bumi, atau basis di dunia yang akan datang, di Langit baru bumi baru? Di sana kita menjadi anak-anak Allah yang tinggal di Kerajaan, di mana setiap insan hidup dalam ketertundukan kepada Allah. Inilah rencana kekal Allah. 

Sebelum dunia diciptakan, memang Allah menghendaki satu lokasi dan sarana yang sempurna, di mana manusia hidup di dalam ketertundukan. Tetapi itu telah rusak. Surga tidak tercipta di bumi yang ini, namun nanti di Langit baru bumi baru. Dari hal ini, kita bisa mengerti mengapa dalam Efesus 1:4-5 dikatakan; “Sebab di dalam Dia, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tidak bercacat di hadapan-Nya.” Artinya, hidup dalam ketertundukan. “Dalam kasih Allah telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Standar yang ditentukan adalah menjadi anak-anak Allah yang hidup tak bercacat. Kalau Allah semesta alam yang tidak bisa diatur oleh siapa pun, dan yang memiliki kebesaran serta kemuliaan tiada batas, rela menjadikan kita anak-anak-Nya, itu luar biasa.