Karena Allah mau mewujudkan rencana-Nya, maka Ia memperkenalkan Diri-Nya kepada dunia lewat kehidupan bangsa Israel. Dari sejarah bangsa Israel—keluar dari Mesir ke Kanaan, lalu perjalanan mereka, zaman Hakim-hakim, Raja-raja dan seterusnya—di dalamnya Allah mau menunjukkan rencana-Nya, yaitu menghadirkan Mesias. Nyata benar bahwa urusannya hanya itu. Sedangkan urusan kita adalah sempurna seperti Bapa. Jadi kalau urusan kita masih hal pemenuhan kebutuhan jasmani berarti kita kembali ke pola hidup bangsa Israel. Urusan kita adalah kekudusan seperti Bapa, memenangkan jiwa-jiwa—yang artinya bukan hanya membuat orang menjadi anggota gereja, melainkan juga menyempurnakan manusia untuk menjadi anak-anak Allah yang layak masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga. Ini istimewa. Inilah yang hilang dari gereja dan karena ini hilang, Allah hilang.
Mungkin ada saat Allah menolerir, di mana Allah menunjukkan kehadiran-Nya lewat mukjizat atau kesembuhan ilahi, tapi itu tidak berlangsung lama. Karena itu bukan tujuan kehadiran Allah. Tujuan kehadiran Allah adalah menjadikan orang percaya sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus. Maka kita melihat bagaimana kehadiran Allah dalam Kebaktian Kebangunan Rohani, mukjizat-mukjizat, tapi tidak berlangsung terus-menerus. Orang bisa melihat kehadiran Allah lewat mukjizat, tapi seperti angin berlalu alurnya dan setelah itu lenyap karena orang-orang yang tidak memburu apa yang menjadi core business Tuhan, yaitu mau menyempurnakan kita.
Jadi sebenarnya kita juga tidak perlu ambisi memiliki gereja besar, gedung dan fasilitas, jumlah jemaat yang banyak, mestinya bukan itu. Tidak salah, namun untuk apa? Kalau kita hanya membuat rumah tangga yang berantem jadi rukun, anak-anak yang nakal jadi baik—tidak salah—tapi kalau tidak sampai langit baru bumi baru, untuk apa? Kalau tidak sampai sempurna seperti Bapa dan serupa dengan Yesus, untuk apa? Sebab tujuan kita adalah menjadikan manusia sempurna seperti Bapa dan serupa dengan Yesus. Kita mungkin dicibir dan dianggap berlebihan, itu terserah. Memang tujuannya begitu, karena keselamatan itu pada intinya mengubah manusia menjadi anak-anak Allah yang modelnya adalah Yesus. Kurang dari itu berarti gagal. Dan itu yang hilang dari gereja.
Jadi, kalau bagi bangsa Israel, Allah itu nyata, karena urusan utamanya adalah bagaimana Allah menunjukkan kehadiran-Nya dengan membawa bangsa Israel keluar dari Mesir ke Kanaan. Lalu terlihat juga bagaimana Allah bekerja pada zaman Raja-raja dan seterusnya, supaya nyata siapa Allah yang benar. Sampai lahirnya Mesias yang membuktikan bahwa Allah yang benar adalah Allah Israel. Tapi setelah itu, apa? Keselamatan diberikan. Keselamatan itu apa? Manusia mengenakan kodrat ilahi, menjadi anak-anak Allah yang modelnya adalah Yesus.
Untuk sementara waktu Allah hadir lewat KKR, kesembuhan dan mukjizat, tapi itu bukan core business-Nya Allah. Itu tanda atau simeon, yang artinya petunjuk arah. Alkitab menuliskan bahwa tanda-tanda ini akan menyertai orang percaya, yaitu: menyembuhkan orang sakit, mengusir setan dan lain-lain. Kesembuhan dan mukjizat itu bukan tujuan, itu petunjuk arah supaya kita tahu hendak dibawa ke mana kita melangkah. Mungkin sebagian kita sudah merenungkan dan membayangkan, kalau nanti kita bertemu Tuhan namun potret kita belum seperti Yesus, bagaimana? Tuhan akan bertanya, “Siapa yang kau ikuti? Kristen macam apa yang kamu kenakan?”
Dan ironisnya, Sekolah Tinggi Teologi tidak membuat orang menjadi seperti Yesus, tapi jadi akademisi, malah jadi sombong! Menyedihkan. Karena tidak sedikit gereja yang tidak memperhatikan pendidikan, tidak berani membenahi diri atau tidak membenahi diri sementara kemajuan jalan terus. Di sisi lain, kelompok lain dengan modal yang tidak terbatas terus menggeliat. Kampusnya besar-besar, profesornya bukan ratusan, tapi ribuan. Masalahnya adalah banyak pendeta yang hanya cari uang, tidak memikirkan langit baru bumi baru, tidak memikirkan sungguh-sungguh hal keselamatan. Penyebabnya bukan sistem pendidikan yang salah, namun tidak adanya kesadaran terhadap kekekalan, hilangnya kasih Allah di hati para pendeta dan para pendidik.
Kalau hanya sebuah perasaan melankoli agamani—seperti misalnya banyak sekolah ditutup, wilayah-wilayah Kristen tidak jadi mayoritas, sementara pendidikan dari pihak lain begitu maju, lalu kita terbeban—itu adalah api yang tidak benar. Api yang benar adalah api di mana kita meratapi jiwa-jiwa yang terhilang. Dengan anak-anak tidak berpendidikan atau salah didik, mereka bisa rusak. Kerusakan itu menggiring mereka masuk neraka, itu yang menjadi masalah. Bukan sekadar anak-anak tidak punya pendidikan lalu menganggur jadi gembel, bukan itu. Kiranya ini menjadi keprihatinan kita. Karenanya kita harus hidup suci, sehat, kerja keras, pintar dan berani mati.
Api yang benar adalah api dimana kita meratapi jiwa-jiwa yang terhilang.