Skip to content

Ancaman Hidup

Sebagai manusia, kita bisa mengalami kegagalan dan kesalahan dalam berelasi, berinteraksi dengan Allah. Kalau ada sesuatu yang kita takuti, maka sesuatu itu akan mengurangi rasa hormat dan takut kita kepada Allah. Karena takut kurang bahagia, maka kita berusaha untuk punya uang sebanyak-banyaknya, harta selimpah-limpahnya. Merasa kurang bahagia kalau tidak memuaskan daging, maka kita akan memuaskan daging kita. Padahal harus selalu kita ingat bahwa tidak ada ancaman dalam hidup ini kecuali terpisah dari Allah. Maka, firman Tuhan katakan dalam Lukas 12:4, “… janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” artinya tidak ada keberlangsungannya di kekekalan. 

Mestinya kita memandang hal terpisah dari Allah sebagai ancaman hidup satu-satunya. Maka kalau bicara soal api kekal, kita gentar bahkan paranoid. Tetapi hari ini banyak orang yang tidak takut terhadap kenyataan terpisah dari Allah. Kalau seseorang tidak takut terhadap kenyataan keterpisahan dengan Allah, ia juga tidak memiliki perasaan takut secara proporsional kepada Allah. Walaupun kelihatannya dia santun, beretika, orang Kristen yang baik, mungkin juga kalau seorang aktivis gereja atau pendeta, tampak rohani. Mereka lebih takut kepada banyak hal sehingga demi segala kepentingan dan kesenangan, mereka mengorbankan perhatian yang seharusnya diberikan untuk perkara-perkara rohani, guna menjadi anak-anak Allah dan layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga.

Kita bisa melihat dari cara mereka menghargai uang, menghargai harta, atau dari perilakunya yang menunjukkan dia tidak takut akan Allah secara patut. Kalau dia santun, itu karena tidak mau dianggap tidak bemoral di mata masyarakat, atau karena tidak mau masuk penjara, dimusuhi orang, dan lain-lain. Tetapi dia tidak takut dimusuhi Allah. Atau kalimat yang tepat, tidak takut menjadikan dirinya musuh Allah, sebagaimana dikatakan dalam Yakobus 4:4, “Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.” 

Ini berlaku untuk siapa saja. Jangan karena kita sudah berteologi, maka kita merasa sudah beda dengan manusia yang tidak berteologi. Faktanya, kita lihat di media sosial bagaimana kelakuan orang-orang yang pandai berteologi. Masalahnya, jika kita berlarut-larut tidak memiliki takut akan Allah secara benar, maka kita tidak pernah sungguh-sungguh membutuhkan keselamatan, bagaimana menjadi manusia yang dikembalikan ke rancangan semula dan menjadi seorang yang benar-benar berkenan. Mari kita belajar simulasi seakan-akan kita ada di hadapan takhta Allah. Lakukan itu waktu kita berdoa, kita menghadap Allah, kira-kira masih adakah dosa yang tersimpan? Kalau ada, kita harus merasa takut. 

Bukan harta dunia saja, namun kebanggaan, kesombongan, semua itu membuat kita tidak bulat utuh mengasihi, menghormati dan takut akan Allah. Kalau kita tidak membiasakan diri untuk simulasi di hadapan Allah, pasti di ujung maut pun kita tidak pernah memiliki perasaan takut yang benar. Baru nanti ketika di hadapan pengadilan, kita bergetar hebat. Tetapi sudah terlambat. Sudah terbuang ke dalam kegelapan abadi. Baru kita menyesal mengapa ketika di dunia tidak menghormati Dia, tidak mengasihi Dia, tidak takut akan Dia, dan tidak membela Tuhan segenap hidup. Bahkan jadi pelayan Tuhan pun hanya karena nafkah dan rezeki. 

Kalau kita melihat gerak radikalisme di sekitar kita, bisa membuat kecut hati orang-orang Kristen. Namun jangan takut, dulu penganiayaan zaman Roma juga dahsyat, tetapi orang Kristen tetap setia. Kita tidak usah ikut-ikut berbicara, diam saja. Jangan berkomentar di media sosial. Makanya kita belajar “melukis” setiap hari. Melukis pikiran dan perasaan Tuhan. Makin hari, makin bagus lukisan kita. Waktu kita meninggal, kita membawa lukisan yang indah di mata Allah. 

Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa memiliki Allah, sumber segala keindahan itu? Yang juga artinya memiliki kehidupan. Rumusnya adalah kita tidak pernah memiliki Allah sampai kita dimiliki oleh Dia sepenuhnya. Dimiliki Allah sepenuhnya artinya hidup hanya untuk kepentingan-Nya. Allah memang menghendaki agar kita menjadi milik Dia, agar roh kita yang diberi tubuh kebangkitan, nanti suatu hari kembali kepada Allah dan tidak terbuang ke dalam lautan api. Tetapi Allah tidak memaksa. Kalau seseorang masih berkeras memiliki dirinya sendiri, berarti memberi diri kepada pihak lawan atau pihak musuh, Allah membiarkan. Namun tentu saja Allah akan memberi peringatan-peringatan sebelumnya. Jadi kita harus memilih.

Salahnya banyak orang Kristen adalah merasa sudah memilih Tuhan karena menjadi Kristen. Memilih Tuhan itu kalau kita menyerahkan seluruh hidup bagi Dia. Apakah kita sudah menyerahkan seluruh hidup? Kita harus memilih, dan seharusnya kita merasa terhormat bisa dimiliki oleh Allah lewat kematian Yang Mulia, Tuhan Yesus Kristus di kayu salib. Kalau seseorang tidak dimiliki oleh Allah, berarti ia dimiliki oleh musuh atau lawan Allah, sebab seseorang tidak bisa berdiri di dua wilayah. Harus memilih salah satu. Terang tidak bisa dipersekutukan dengan gelap. 

Tidak ada ancaman dalam hidup ini kecuali terpisah dari Allah.