Kalau Firman Firman Tuhan menyatakan: “Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan perempuan …” (2 Korintus 6:18). Janji ini bersyarat: manusia tidak boleh menyentuh apa yang najis.
Terdapat dua dimensi penting dalam status anak Allah, yakni secara de jure dan secara de facto. Secara de jure, manusia diadopsi menjadi anak Allah melalui karya penebusan Kristus di kayu salib. Namun secara de facto, belum otomatis memiliki sifat-sifat Allah. Karena itu diperlukan proses pendidikan rohani yang nyata dalam perjalanan hidup.
Ibrani 12:7 menegaskan: “Jika kamu harus menanggung ganjaran, Allah memperlakukan kamu seperti anak.” Istilah Yunani huios menunjukkan anak yang sah, yaitu mereka yang dididik dan dibentuk oleh Bapa. Sebaliknya, orang yang menolak didikan Allah disebut nothos—anak yang tidak sah. Dengan demikian, pengesahan sebagai anak Allah bukanlah sekadar status hukum, melainkan sebuah proses hidup yang ditandai dengan pemisahan dari segala yang najis (2 Korintus 6:17).
Keselamatan sepenuhnya merupakan anugerah Kristus. Namun anugerah itu bukanlah anugerah tanpa tanggung jawab. Anugerah menempatkan manusia sebagai anak Allah secara de jure, tetapi tanggung jawab menuntut perubahan hidup yang kudus. Roma 12:2 menekankan bahwa pembaruan pikiran menentukan arah hidup: apakah menuju dunia atau menuju surga. Pikiran dan perasaan (tselem) perlu dibentuk agar menyerupai Allah (demuth). Pikiran yang rusak akan mencondongkan manusia kepada dunia, sedangkan pikiran yang diperbarui akan mengarahkan kepada keserupaan dengan Kristus.
Hidup dalam kekudusan adalah tuntutan yang berat, tetapi menjadi keniscayaan bagi setiap anak Allah. Kesucian bukan hanya pengajaran, melainkan harus diwujudkan dalam praktik hidup. Pembaruan pikiran adalah syarat mutlak untuk memastikan pengakuan Allah terhadap manusia sebagai anak-anak-Nya. Karena itu, disiplin rohani perlu ditata: doa, pembacaan Alkitab, dan penghindaran dari segala hal yang menjauhkan dari Allah. Roadmap kehidupan harus dibangun agar kelak layak duduk bersama orang-orang kudus di Kerajaan Surga.
Proses pendidikan rohani sering kali didorong oleh pengalaman hidup yang mendalam. Misalnya, dalam masa sakit, ketika waktu dipakai untuk berdoa, merenung, dan membaca Alkitab, kesadaran akan pentingnya pemulihan rohani semakin nyata. Kesadaran ini dapat melahirkan keputusan untuk meninggalkan hal-hal duniawi yang mengikat, demi sepenuhnya hidup menyenangkan hati Allah.
Hidup manusia sangat singkat, sementara dunia kian jahat dan usia kian menua. Tidak ada yang layak diharapkan dari dunia ini. Oleh karena itu, anugerah Allah harus direspons dengan hidup kudus. Menjadi anak Allah bukan hanya secara de jure, melainkan juga de facto—nyata dalam pikiran, karakter, dan perbuatan sehari-hari.