Skip to content

Allah Diam

Adalah baik menanti dengan diam pertolongan Tuhan, tetapi ini tidak mudah. Ketika kita dilanda persoalan atau masalah berat yang tidak kunjung selesai, lalu ancaman terhadap kita semakin kuat, semakin mengancam, maka timbul keraguan terhadap Tuhan. Timbul ketidakpercayaan terhadap kesetiaan Allah, apakah Allah benar-benar ada, hidup, dan memedulikan kita. Hampir semua orang Kristen yang diproses Tuhan, mengalami masa-masa seperti itu. 

Bicara mengenai Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Kuat, tetapi kita sendiri mengalami masalah yang tidak kunjung selesai. Masalah ekonomi, keluarga, pekerjaan. Kadang kita merasa Tuhan terlambat menolong kita, tetapi sejatinya Tuhan tidak pernah terlambat. Namun, Tuhan juga tidak buru-buru. Tuhan tepat waktu menolong kita. Tuhan pasti menolong. Ingat, yang terjadi di Yohanes 11 mengenai Lazarus yang sakit? Tuhan diberitahu bahwa Lazarus sakit, Tuhan tidak segera datang. Akhirnya, Lazarus meninggal. Tuhan seperti mengulur waktu sampai Lazarus meninggal. Marta berkata kepada Yesus, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” Tuhan dipersalahkan. Marta menuntut Tuhan agar Tuhan bertindak sesuai dengan cara dan jadwalnya. 

Bukankah kita juga sering bertindak seperti Marta? Mungkin kita mengalami keadaan seperti ini? Kita bertanya, “Tuhan, mengapa Engkau membuat keadaan ini berlarut-larut demikian? Aku terkatung-katung dalam ketidakpastian.” Tuhan seperti diam; seperti The Silent God. Allah diam, bukan berarti Allah tidak peduli, melainkan karena Allah bekerja dalam ketepatan. Dia tidak buru-buru, juga tidak lambat. Kalau kita memandang Tuhan itu lambat, karena kita tidak cerdas. Sebaliknya, jarang ketika seseorang punya masalah, lalu Tuhan tolong, dia berkata, “Tuhan, cepat sekali menolong saya, padahal saya masih sabar menunggu.” Tidak pernah. Yang ada, “Tuhan kok lambat, ya?” Orang mau ditolong Tuhan secepat-cepatnya, padahal Tuhan memiliki jadwal dalam pergumulan hidup yang kita hadapi. Tuhan punya rancangan-rancangan untuk mengubah kita. 

Satu kalimat penting yang harus kita tangkap, yaitu kalau keadaan sekitar kita tidak berubah—situasi hidup, situasi ekonomi, situasi rumah tangga, pasangan hidup, orang tua, anak, bos, bawahan, teman, kolega, atau siapa pun yang mengganggu hidup kita—maka kita yang berubah dulu. Jangan menuntut keadaan dan lingkungan kita berubah, jangan menuntut orang lain berubah, sementara kita sendiri belum berubah. Kalau Tuhan mengizinkan satu keadaan terjadi di dalam hidup kita, Tuhan mau proses kita. Maka, kita harus mengerti apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita melalui pergumulan itu. Mestinya kita tidak buru-buru memaksa Tuhan mengubah keadaan kita. Yang kita harus lakukan adalah mengubah diri kita. 

Kalau paru-paru jasmani kita bermasalah, kita bisa terengah-engah, bahkan bisa mati mendadak. Namun, kalau paru-paru rohani kita yang rusak, kita kelihatannya sehat-sehat saja. Bisa tetap menjalani hidup, semua bisa running well. Padahal, mengerikan. Untuk apa paru-paru jasmani kita sehat, tetapi paru-paru rohani kita sakit? Nafas hidup rohani kita tidak benar. Kita minta kepada Tuhan agar jangan memanggil kita pulang sebelum kita benar-benar mengalami kesembuhan secara rohani. Sering kali kita itu dalam persoalan berat, mau cepat-cepat persoalan itu berlalu atau lewat. Padahal, persoalan itu diizinkan terjadi untuk menyembuhkan kehidupan rohani kita. Kita harus berani berkata, “Tuhan, jangan angkat masalah ini sebelum saya menjadi lebih benar, sebelum saya menjadi lebih kudus, sebelum saya menjadi makin mengasihi Engkau, takut akan Engkau, dan sempurna di dalam Engkau.” 

Kita harus berani mengatakan begitu. Kalau sekarang kita menghadapi masalah-masalah berat, yang sepertinya menyita kebahagiaan dan merenggut sukacita hidup, kita mengerti bahwa demi nasib kekal kitalah Tuhan mengizinkan kejadian itu terjadi. Jadi kalau kita mengaku percaya Tuhan, itu berarti kita juga mengakui, memercayai kebijaksanaan-Nya.  Apa yang Tuhan izinkan kita alami, itu mendatangkan kebaikan. Kita tidak boleh sok tahu, sok pintar, sok cerdas. Kita harus percaya apa yang Tuhan lakukan, itu baik adanya. 

Kalau kita memperhatikan kisah Yusuf, bagaimana Yusuf nyaris dibunuh oleh kakak-kakaknya. Dia dibuang ke dalam sumur, lalu diangkat dari sumur, bukannya ditolong, dijual jadi budak. Langit hidup Yusuf rubuh. Dia terpisah dari orang tua; dari Yakub yang sangat mencintai dia. Yusuf menjadi budak. Lalu di rumah Potifar, nyaman sejenak. Mungkin Yusuf sempat berpikir, inilah waktunya mimpi yang pernah dia terima dari Tuhan terwujud bahwa dia akan menjadi penguasa, dan saudara-saudaranya bahkan orang tuanya juga akan sujud kepadanya. Namun, yang terjadi justru nasib Yusuf makin memburuk. Yusuf menjadi manusia tanpa masa depan. 

Ternyata, justru di penjara itulah tangga untuk mencapai penggenapan rencana Allah. Di sana Yusuf bertemu dengan pejabat makanan dan minuman raja, yang kemudian mengantar Yusuf bertemu Firaun. Maka, tidak ada alasan untuk meragukan Tuhan semesta alam. Kalau kita terpuruk hari ini, seakan-akan langit hidup kita rubuh, percayalah bahwa Tuhan punya banyak jalan dan cara untuk menyelamatkan kita. Jangan hanya berkata, “Aku percaya,” tetapi benar-benar yakini bahwa Dia adalah Allah yang hidup, yang berkuasa menolong. Percayalah, pasti Dia peduli.

Allah diam, bukan berarti Allah tidak peduli, melainkan karena Allah bekerja dalam ketepatan.