Skip to content

Akrab dalam Perasaan

 

Melalui kehidupan doa, kita mencari wajah Tuhan, maka kita bisa menemukan Tuhan di dalam perasaan kita. Banyak di antara kita—khususnya para teolog dan pembicara—yang akrab dengan Tuhan di pikiran, tetapi tidak akrab dengan Tuhan dalam perasaan. Akrab dengan Tuhan di dalam pikiran itu bisa dicapai dalam beberapa bulan, atau dalam beberapa tahun, melalui studi di Sekolah Tinggi Teologi, ikut seminar atau ikut Sekolah Alkitab. Tetapi akrab dengan Tuhan dalam perasaan harus melalui tahun-tahun panjang, di mana di setiap menit dan detiknya, kita selalu memikirkan Dia. Maka Firman Tuhan berkata, “Renungkanlah firman Tuhan siang dan malam,” sejatinya itu tidak berlebihan. Merenungkan firman Tuhan, sama dengan merenungkan Tuhan, kehadiran-Nya. 

Selain kita harus punya waktu khusus berjumpa dengan Tuhan, kita juga harus merenungkan kehadiran Tuhan dari menit ke menit, sehingga hidup kita dilingkupi oleh kehadiran Allah. Di situ keakraban dengan Tuhan dalam perasaan kita bertumbuh. Sesungguhnya di situlah seseorang memiliki iman yang benar, yang akan teruji ketika ia menghadapi pencobaan, godaan berbuat dosa. Berbuat dosa bukan hanya membunuh, mencuri, berzina, melainkan godaan ketika seseorang memiliki kesempatan terhormat, atau ketika seseorang diajak bertikai atau diserang orang; bagaimana responsnya terhadap keadaan itu? Kalau seseorang akrab dengan Tuhan di dalam perasaan-Nya, maka dia tidak akan mengambil tindakan yang salah. Kalau hanya akrab di dalam pikiran, buah hidupnya akan nampak. 

Memang kita tidak membunuh, tidak berzina, tidak mencuri, tetapi kelicikan kita terhadap orang lain, kesombongan, reaksi waktu diserang dan membalas menyerang orang yang semua dibungkus dengan etika, bukan dibungkus dengan kehadiran Tuhan untuk memperhatikan perasaan-Nya. Orang boleh berargumentasi apa pun membela kelakuannya, tetapi perasaan Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan etika manusia. Keakraban dengan Tuhan dalam perasaan akan teruji ketika seseorang di dalam bahaya, ancaman, yaitu seberapa tenang ia menghadapi ancaman atau bahaya itu. Seberapa teduh seseorang yang akrab dengan Tuhan dalam perasaan, mengerti apa artinya bergantung kepada Tuhan, mengerti apa artinya Tuhan itu perisainya, perlindungannya. Secara teori orang bisa berkata, “Tuhan adalah perisai dan perlindungan,” yang mana terlihat akrab di dalam pikiran, tetapi sesungguhnya dia belum tentu akrab dalam perasaan. 

Jangan sampai kita tertipu oleh pikiran kita sendiri; merasa sudah akrab dengan Tuhan, padahal hanya akrab di dalam pikiran. Salah satu cirinya adalah, ketika ada di dalam bahaya, kita akan merasa takut terhadap ancaman dan bahaya itu. Orang yang akrab dengan Tuhan di dalam perasaan akan teruji waktu dia menghadapi kematian. Orang yang akrab dengan Tuhan dalam perasaan, menantikan perjumpaan dengan Tuhan. Kerinduan akan Tuhan tidak bisa dibangun dari pikiran—walaupun pikiran itu penting—namun harus dibangun dari perjumpaan dalam perasaan setiap hari. Bagaimana orang bisa merindukan Tuhan tanpa perjumpaan? Tidak bisa kalau tidak akrab dengan Tuhan dalam perasaan.

Masalahnya, bagaimana kita bisa membangun itu? Perjumpaan dengan Tuhan setiap hari, hidup dalam kesucian, itu mutlak. Sebab kita tidak bisa menjumpai Tuhan, bergaul dengan Tuhan, tanpa kesucian. Maka kita harus rajin-rajin berkata, “Jika masih ada dosa dalam diriku, Tuhan. Jika masih ada percintaan dunia dalam diriku, Tuhan, beri tahu aku.” Lalu bereskan. Jangan ada dosa, jangan ada percintaan dan ini yang sulit, tetapi bisa kita lakukan. Jadikan Tuhan sebagai kesukaan dan kebahagiaan kita satu-satunya. Jangan harap lagi dunia membahagiakan, sebab hanya Tuhan yang bisa menjadi kebahagiaan kita. Harus seekstrem itu. Mari kita kembangkan ini, akrab dengan Tuhan dalam perasaan. 

Ironis, banyak orang berdoa kepada Tuhan yang ada di dalam pikirannya, Tuhan dalam teologinya, tetapi bukan Tuhan yang dia jumpai. Maka kalau orang berkata, “Saya merasakan Tuhan,” jangan mudah percaya atau kalau kita pun berkata, “Aku merasakan Tuhan” terhadap diri sendiri pun juga jangan mudah mempercayai. Tetapi bagaimanapun, subjektivitas di mana perasaan terlibat itu mutlak harus terjadi dalam hidup kita. Orang yang akrab dengan Tuhan dalam perasaan, waktu berkhotbah itu beda, menyebut nama Tuhan itu beda. Hormatnya terhadap Tuhan itu beda. Jadi jangan menyebut nama Allah dengan sembarangan. Orang yang menyentuh Tuhan, mengalami Tuhan dalam perasaan, berbeda pada waktu dia berdoa dan menyebut nama Tuhan.