Keinginan-keinginan apa pun harus bisa kita buang. Ambisi-ambisi apa pun, bisa kita buang. Tetapi, jangan menumpulkan ambisi yang satu ini: “Bawa aku ke puncak, Tuhan, setinggi-tingginya.” Itu berarti menjadi orang sesuci-sucinya, sekudus-kudusnya, benar-benar tak bercacat, tak bercela di hadapan Allah. Hal itu bisa kita minta, lalu kita gumuli. Nanti berkembang terus, kita bisa menjadi eksklusif dengan Allah. Di mana pun kita berada, kita ada di hadapan Allah. Makanya kita menjaga perkataan, sikap, perbuatan. Apalagi hamba-hamba Tuhan, supaya membawa shekinah glory Allah. Sejujurnya, banyak orang telah menjadi tumpul karena masih menyisakan ambisi-ambisi dan keinginan-keinginan di dalam hatinya.
Kita tidak bisa ada di hati Tuhan kalau kita masih menyimpan hal lain di hati kita. Kita harus memiliki kenekatan seperti pemazmur, “Tidak ada yang kuingini di bumi.” Tuhan tahu kita membutuhkan jodoh, anak, dan lain-lain. Jika memang bagian kita, Tuhan pasti memberi. Makanya kepada para hamba Tuhan, beranilah untuk tidak punya keinginan apa pun selain Tuhan dan Kerajaan-Nya. Sebab ketika kita meninggal dunia, kita juga tidak membawa apa-apa. Bagi yang muda-muda, kematian pun bisa menjemput setiap saat. Makanya Tuhan berkata, “Kamu harus bertobat,” Matius 18:3, “dan menjadi seperti anak kecil.” Bukan kekanak-kanakan, bukan childish. “Seperti anak-anak” dalam bahasa aslinya paidion. Anak usia 7-14 tahun, usia efektif dididik.
Irama hidup dan selera jiwa kita sudah telanjur salah. Kita punya refleks tersinggung, apalagi yang suka bohong, suka berpolitik, refleks bohongnya cepat sekali. Cerdik kalau berbohong. Tuhan berkata, “Berjuanglah masuk jalan sempit” ini memang tidak mudah. Kita harus fokus ke sini. Tuhan menghendaki kita berjalan dengan Dia, tetapi Tuhan tidak akan berjalan kepada orang yang masih mendua hati. Firman Tuhan mengatakan orang yang mendua hati tidak akan mendapat apa-apa.
Sungguh-sungguh mau sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus, tidak mudah. Memiliki kerinduan menjadi bulat utuh, tidak mudah. Tetapi kita harus terus menggelorakan, membuat membara kerinduan itu. “Sempurna seperti Bapa,” ini puncak. Semua ambisi, kita arahkan ke sini. Kita hidup sejenak di bumi, sungguh kasihan kalau tidak mencapai tingkat puncak yang mestinya bisa kita capai setinggi-tingginya. Kalau uang, orang mau sebanyak-banyaknya. Tiap hari neracanya dilihat naik turunnya. Kalau seorang mahasiswa, dia perhatikan Indeks Prestasinya. Mimpi jadi sarjana, diwisuda. Mengapa untuk urusan kekekalan kita tidak lebih semangat, lebih bergairah, lebih antusias?
Kalau kita tidak sungguh-sungguh mau mencapai puncak, berarti kita kurang menghargai Tuhan secara patut. Kalau kita menghargai Tuhan secara patut, maka kita mencanangkan keinginan untuk mencapai puncak itu. Jangan sampai digantikan dengan jumlah jemaat yang banyak, kita senang. Posisi di gereja atau posisi di perusahaan tidak boleh menjadi berhala. Kalau kita punya persoalan, jangan tenggelam dengan persoalan, seakan-akan puncak kebahagiaan kita adalah kalau masalah kita selesai; kalau sakit sembuh; kalau ekonomi pulih; kalau punya rumah. Kita harus berani seekstrem-ekstremnya, sefanatik-fanatiknya dengan Tuhan.
“Apa pun yang terjadi, aku berkenan kepada-Mu. Aku mencapai puncak kesucian. Aku mencapai puncak keberkenanan di hadapan-Mu.” Puncak, setinggi-tingginya. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap, segenap, segenap.” Dengan melakukan itu, kita membawa diri kita kepada puncak. Sampai Tuhan bisa merasa, sungguh ini luar biasa. Kita ingin jadi orang yang mencintai Tuhan begitu “menggigit” dan Tuhan merasa. Dari sekian milyar manusia, Tuhan melihat kita. Dari sekian juta atau sekian ratus ribu orang yang tinggal di sekitar kita, Tuhan melihat, “Yang ini beda. Memikat hati-Ku.” Kalau sampai kita memikat hati Tuhan, apa saja Tuhan pasti buat untuk kita.
Mengapa Abraham menjadi sahabat Tuhan? Ishak itu milik kesayangannya. Tidak ada yang lebih berharga dari Ishak. Tuhan suruh sembelih, dia sembelih. Dia sampai puncak. Memang sampai tingkat ini, tidak mudah; tetapi bisa dicapai. Lalu, mengapa kita tidak berjuang sampai puncak yang setinggi-tingginya sampai Tuhan merasa? Kalau kita dicintai orang, kita merasa tidak? Kalau kita punya beberapa anak, anak yang paling perhatian, paling peduli, kita dapat merasa. Kita punya sahabat beberapa orang, kita tahu yang satu ini peduli. Kita bisa merasakan kepeduliannya. Tuhan merasa tidak, kalau kita mencintai Dia?
Jadi kalau Tuhan berkata, “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, akal budimu, kekuatanmu,” itu artinya “bawa dirimu ke puncak.” Puncak kesetiaan, puncak kesucian, puncak kesempurnaan. Itulah bentuk, sikap hormat kita kepada Allah. Karena kita memandang tidak ada yang lebih bernilai dari mengasihi Tuhan dengan “segenap, segenap, segenap” itu yang membawa kita kepada puncak, dan hal itu memuaskan hati Allah.
Kita tidak bisa ada di hati Tuhan kalau kita masih menyimpan hal lain di hati kita.