Menjadi tua itu otomatis, tetapi menjadi dewasa adalah perjuangan. Melalui pengalaman hidup, seseorang bisa menjadi dewasa secara mental, namun belum tentu ia dewasa secara rohani — yaitu makin hari makin serupa dengan Yesus Kristus. Jangan sia-siakan kesempatan ini, terutama bagi kita yang sejak kecil sudah menjadi Kristen. Kita harus memeriksa diri: apakah sungguh-sungguh telah memilih mengikut Yesus? Sebab mengikut Yesus adalah pilihan sadar. Jika kita berkata, “Aku ikut Engkau, Yesus,” maka kita harus berjuang untuk menjadi serupa dengan Dia. Hanya dengan cara itulah kita menghormati Allah Bapa, yaitu dengan melakukan kehendak-Nya — bukan sekadar bermoral baik, tetapi mengerti apa yang Dia kehendaki dan melakukan segala sesuatu seturut dengan keinginan-Nya.
Karena itu, kita harus memiliki kecerdasan rohani — kepekaan untuk mengerti kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna. Kita harus terus belajar, sebab untuk memahami kehendak Allah diperlukan proses bertahap. Dalam banyak hal, kehidupan rohani memiliki kesejajaran dengan kehidupan jasmani; keduanya menuntut latihan terus-menerus. Dalam hal kepekaan terhadap kehendak Allah pun demikian, perlu latihan. Jangan sampai seseorang pada usia tertentu tidak lagi bisa diubah — itu keadaan yang mengerikan. Kita harus menyadari bahwa Iblis sangat lihai bermanuver. Ia berhasil menyesatkan banyak orang percaya justru karena mereka tidak menyadari tipu dayanya. Inilah bahaya terbesar bagi orang percaya.
Setelah kita mengambil keputusan untuk mengikut Yesus, perjuangan itu dimulai dari belajar kebenaran firman Tuhan dan melatih kepekaan untuk melakukan apa yang selaras dengan pikiran serta perasaan Allah. Setelah itu, kita akan dibawa kepada salib — kepada penderitaan karena mengikut Dia. Ketika Yesus hadir di tengah-tengah bangsa Israel, mereka tidak mengenal-Nya dengan benar. Ia hanya dianggap anak tukang kayu. Namun murid-murid-Nya berani mempercayai Dia, sekalipun pada awalnya motivasi mereka masih keliru: ingin mengubah nasib dan berharap Yesus menjadi raja dunia, sedangkan mereka menjadi hulubalang-Nya.
Meski demikian, keberanian mereka tetap patut dipuji. Setelah mereka dipenuhi Roh Kudus, mereka mengerti maksud sejati dari mengikut Yesus dan rela mati bagi Dia dalam penderitaan yang tragis. Bagaimana dengan kita hari ini? Seberapa besar keberanian kita menaruh harapan sepenuhnya kepada Kristus? Pada masa itu, banyak orang menertawakan Yesus. Di mata orang Yahudi, Ia dianggap penghujat karena mengaku Anak Allah; sementara secara politis, Ia dianggap pemberontak. Tetapi murid-murid tetap setia, sebab mereka tahu siapa yang mereka ikuti.
Pada masa itu, pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan (Kurios) menjadi ancaman bagi kekuasaan Romawi. Gelar Kurios identik dengan kehormatan tertinggi yang dahulu disandang oleh Alexander Agung. Maka ketika orang Kristen menyebut Yesus sebagai Kurios, mereka seolah-olah menyatakan ada penguasa lain selain Kaisar. Karena itu, orang Kristen dianggap musuh negara dan harus dimusnahkan. Namun mereka tetap berani. Lalu, seberapa berani kita mengikut Tuhan Yesus hari ini?
Rasul Paulus menulis dalam Filipi 3:7–8, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Artinya, kita tidak akan sungguh memiliki Kristus jika kita tidak mau melepaskan segala sesuatu dan menganggapnya sampah. Ini sebuah pilihan. Dari sinilah Tuhan akan menuntun kita menuju salib penderitaan bersama Dia.
Selanjutnya dalam Filipi 3:10, Paulus berkata, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya, serta persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya.” Inilah standar kehidupan orang percaya sejati. Paulus tidak menempatkan dirinya pada level rohani yang berbeda dari jemaat. Ia menegaskan, “Ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka yang hidup sama seperti kami, yang menjadi teladanmu” (Filipi 3:17). Artinya, setiap orang percaya harus menempuh jalan yang sama: jalan salib, jalan kedewasaan rohani, jalan keserupaan dengan Kristus.
Mengenal Kristus bukan sekadar mengetahui tentang Dia, tetapi mengalami kuasa kebangkitan-Nya dalam kehidupan nyata. Inilah panggilan bagi setiap murid sejati: terus belajar, terus bertumbuh, dan terus berjuang sampai seluruh hidupnya menjadi cerminan Kristus yang hidup.