Ketika kita bertobat menjadi Kristen, bahkan ketika seseorang menjadi pendeta, kodrat dosa tidak langsung hilang. Namun Tuhan bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Kodrat dosa itu dikikis melalui proses. Jadi, ketika seseorang bertobat, kodrat dosa belum lenyap, tetapi melalui perjalanan hidup di mana ia terus-menerus memilih untuk tidak mengikuti kehendak dosa, kodrat itu akan terkikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya punah.
Di sinilah letak kompleksitas manusia. Kita harus berjuang melawan kodrat dosa, sampai akhirnya mengalami perubahan dari kodrat manusia menuju kodrat ilahi. Itulah prestasi rohani sejati, namun harus disertai pimpinan Roh Kudus. Karena itu, kita harus banyak berdoa dan duduk diam di kaki Tuhan. Ingatlah, kodrat dosa itu seperti ular yang tampak mati—seolah-olah diam—tetapi pada saat tertentu bisa hidup dan menyerang kembali.
Ambil contoh: kesombongan. Tuhan akan memberi kesempatan untuk menguji apakah kita benar-benar rendah hati. Mungkin melalui penghinaan, atau sebaliknya, melalui pujian, kekayaan, dan kehormatan. Dulu, sebelum memiliki kedudukan atau gelar, kita mungkin rendah hati karena “ularnya” belum bangkit. Tetapi begitu memiliki kehormatan, sedikit saja tersinggung, kita bisa marah.
Karena itu, kita harus menyangkal diri setiap hari. Allah mengizinkan berbagai peristiwa terjadi untuk membunuh kodrat dosa dalam diri kita. Dalam setiap peristiwa, kehendak bebas kita diuji. Ketika kita tersinggung dan marah, kita bisa berkata, “Tidak ada yang melarang aku untuk diam. Aku memilih untuk diam.” Tetapi meski sudah diam, mungkin masih ada kejengkelan di dalam hati. Maka kita perlu kembali duduk diam di kaki Tuhan, sebab di sanalah Tuhan melatih kita. Di situ kehendak bebas kita dimainkan dan diarahkan untuk taat.
Namun sering kali kita tidak sadar. Ketika seseorang melukai kita, kita berkata dalam hati, “Memangnya siapa dia?” Inilah kompleksitas manusia: karakter, watak, dan sifat yang terus menuntut penyaliban diri. Yesus adalah Anak Allah yang menampilkan gambar Allah yang tidak kelihatan. Allah memang tidak terlihat, tetapi Yesus menampakkan-Nya. Setelah Yesus naik ke surga, kitalah yang harus menampilkan kehidupan Yesus, yakni gambar Allah yang tidak kelihatan itu. Sifat-sifat Allah harus kita kenakan. Karena Allah adalah Bapa kita, maka kita sebagai anak-anak-Nya harus menjadi sempurna seperti Bapa.
Hal ini tentu menggirangkan bagi kita yang rindu hidup kudus dan mencapai keunggulan rohani. Di sinilah kita mulai memasuki perlombaan rohani yang wajib seperti tertulis dalam Roma 12. Kita berlomba untuk mencapai kehidupan sebagai anak-anak Allah yang menyenangkan hati-Nya. Segala hal lain—memiliki rumah, mobil, gelar, pasangan hidup, atau anak—tidak wajib. Tetapi untuk menjadi serupa dengan Yesus, itu wajib.
Sebagaimana bangsa Israel menempuh perjalanan panjang dari Mesir menuju Kanaan, demikian pula kita. Dari kehidupan dunia menuju status sebagai anak-anak Allah yang tinggal di rumah Bapa, kita harus menempuh proses perubahan. Pikiran dan perasaan Allah harus kita peragakan, sehingga hidup kita bukan lagi tentang diri kita, tetapi tentang Kristus yang adalah gambar Allah yang tidak kelihatan.
Jika sejarah hidup kita ditulis, seharusnya yang tampak bukan jejak diri kita, tetapi jejak Allah di dalam hidup kita, sebab seperti yang dikatakan Rasul Paulus, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.”
Barulah kita mengerti apa artinya memiliki kemuliaan Allah—bukan kemuliaan diri sendiri. Bukan sekadar berbuat baik atau menjauhi kejahatan, melainkan melakukan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan Allah. Itulah buah kehidupan yang menyenangkan Tuhan. Mulai hari ini, marilah kita melakukan apa yang Bapa kehendaki untuk kita lakukan. Gunakan kehendak bebas dengan benar. Namun ingat, tanpa disadari, pengaruh dunia dapat menggiring kita pada hasrat, minat, naluri, dan selera yang bertentangan dengan kehendak Allah.
Karena itu, perbanyak doa dan waktu duduk diam di kaki Tuhan, agar Tuhan mengimpartasikan roh dan semangat-Nya ke dalam diri kita. Rasul Paulus menulis tentang Musa yang turun dari Gunung Sinai dengan wajah yang memancarkan kemuliaan Allah. Betapa lebih dahsyatnya kita, umat Perjanjian Baru! Seperti bumi dan planet-planet yang tidak memiliki cahaya sendiri tetapi memantulkan cahaya matahari, demikian pula Musa memantulkan cahaya Allah. Pertanyaannya sekarang: Apakah kita sudah memantulkan cahaya Allah dalam perbuatan dan dalam setiap pilihan hidup kita?