Skip to content

Tidak Ditentukan oleh Takdir

 

Pergumulan hidup orang percaya sangatlah berat, yaitu bagaimana hidup di dalam kekudusan sepanjang perjalanan hidup yang panjang ini. Rasanya tidak pernah sampai pada target; selalu saja ada kegagalan dan penyimpangan. Untuk itu, ada dua hal yang sangat prinsip.

Yang pertama, kita sendirilah yang menentukan pilihan: apakah kita memilih ini atau memilih itu. Inilah yang disebut the power of will—kuasa kehendak. Kehendak bebas (free will) kita begitu kuat, bahkan menentukan arah hidup kita. Jadi, hidup kita tidak ditentukan oleh takdir, tetapi oleh diri kita sendiri—oleh pilihan dan keputusan yang kita ambil.

Tidak ada yang dapat menahan ketika seseorang berkata, “Aku memilih apa pun yang sesuai dengan kehendak Allah.” Ketika hal itu terjadi, hidup kita bukan lagi tentang kita, melainkan tentang Tuhan. Maka tidak heran jika seseorang dapat mengukir sejarah Tuhan di dalam hidupnya. Lihatlah sejarah hidup Yusuf, Abraham, dan para tokoh iman lainnya. Bahkan kita seharusnya dapat hidup lebih dahsyat, karena Roh Allah kini diam di dalam kita.

Yang kedua, kita memerlukan Roh Kudus sebagai penuntun hidup. Jika kita gagal, itu karena kita tidak berjalan bersama Roh Kudus. Hasrat kita menjadi lemah karena kita tidak dipenuhi oleh Roh Kudus. Bila kita benar-benar mengasihi Tuhan dengan segenap hati, tidak boleh ada sesuatu pun yang kita nikmati sampai menggeser atau menggantikan kenikmatan kita akan Tuhan. Kesenangan pribadi harus “disembelih”, seperti Abraham yang mempersembahkan Ishak, anak yang sangat dikasihinya. Ini bukan sikap berlebihan, karena sejak semula kita memang diciptakan untuk menjadi kesukaan Allah. Bayangkan seandainya Adam dan Hawa tidak jatuh dalam dosa; mereka akan tetap memiliki kemuliaan Allah—yaitu kemampuan untuk selalu bertindak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.

Hanya dalam keadaan seperti itu, barulah dapat terwujud apa yang dimaksud dengan, “Bumi penuh dengan kemuliaan Allah.” Sebab, pikiran dan perasaan Allah diterjemahkan dalam kehendak manusia, sehingga tidak ada lagi kehendak yang bertabrakan dengan kehendak Allah. Di surga pun, tidak ada satu makhluk pun yang kehendaknya bertentangan dengan kehendak Allah. Karena itu, ketika kita berkata, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga,” artinya kita sedang berkata, “Tuhan, latihlah aku menjadi anggota keluarga Kerajaan-Mu yang hidup di bumi dengan kehendak yang selaras dengan pikiran dan perasaan-Mu.” Kita sedang berlatih menyelenggarakan kehidupan surgawi di dunia. Sebab kehendak adalah sesuatu yang luar biasa—ia dapat menentukan nasib.

Kehendak bebas yang melahirkan keputusan Adam dan Hawa telah menentukan nasib seluruh keturunannya, termasuk kita. Demikian pula, kehendak kita hari ini menentukan nasib kita, bahkan dapat memengaruhi nasib anak cucu dan orang-orang di sekitar kita. Begitu dahsyat kuasa kehendak itu.

Karena itu, jangan menyerahkan diri pada suasana dunia yang jahat. Doa yang diajarkan Tuhan Yesus, “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskan kami dari yang jahat,” bukan sekadar ucapan, tetapi pengakuan bahwa kita perlu dijauhkan dari kehendak yang salah. Jangan melihat hal-hal yang tidak perlu dilihat, karena hal itu akan merusak pikiran dan menurunkan kualitas kehendak kita. Jangan bergaul dengan orang yang salah, sebab pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik, membentuk karakter yang salah, dan pada akhirnya merusak perilaku kita.

Betapa luar biasa manusia sebagai ciptaan Allah, diberi kehormatan sekaligus tanggung jawab untuk memiliki pikiran dan perasaan yang dapat menciptakan kehendak. Sebelum zaman anugerah, manusia hanya menilai tindakan berdasarkan baik dan jahat. Itulah yang membuat manusia mengalami kemunduran, padahal standar Allah bukan sekadar baik dan jahat, melainkan sesuai dengan pikiran dan perasaan-Nya. Karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus membawa manusia kembali kepada standar ini. Sungguh luar biasa! Tetapi kita harus mulai dari awal lagi—starting from zero—karena kita masih sering meleset.

Jangan menganggap remeh didikan Tuhan. Proses bagaimana Tuhan mengubah kita adalah bagian dari rancangan-Nya yang penuh kasih. Masalahnya, di dalam diri kita sudah ada kehendak-kehendak yang rusak—yang disebut kodrat dosa (sinful nature). Ketika kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, status kita memang berubah: dari bukan anak Allah menjadi anak Allah. Namun kodrat kita belum berubah. Kasih karunia tidak otomatis mengubah kodrat, melainkan membuka jalan bagi proses pembaruan. Karena itu, Allah mendidik kita dengan memberi meterai Roh Kudus, yang menuntun kita kepada seluruh kebenaran. Melalui tuntunan Roh Kudus inilah kita diproses untuk mengalami pembaruan kehendak, agar kita benar-benar memiliki pikiran dan perasaan yang selaras dengan pikiran dan perasaan Allah.