Kita sudah sering mendengar, atau bahkan mengucapkan sendiri, bahwa hidup ini adalah pilihan. Namun, persoalannya adalah: apa isi dari pilihan tersebut? Inilah yang perlu kita bedah dengan jelas. Umumnya, pilihan yang dimengerti atau diasumsikan banyak orang berkaitan dengan bidang studi, pekerjaan atau profesi, jodoh, tempat domisili, dan banyak hal lainnya. Akan tetapi, biasanya ketika seseorang telah berusia di atas lima puluh tahun, pilihan mengenai bidang studi, pekerjaan, jodoh, atau domisili sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang dominan—kecuali bagi mereka yang masih mau tenggelam di dalamnya dan tetap sibuk dengan hal-hal tersebut.
Pilihan yang akan kita bicarakan bersama ialah: apakah kita mau hidup dalam kepercayaan yang benar atau tidak. Kepercayaan yang benar, atau keberimanan yang benar, merupakan istilah yang mungkin juga sangat akrab bagi semua orang beragama. Keberimanan yang benar atau kepercayaan yang benar sama artinya dengan memilih Tuhan. Pertanyaannya: apa itu kepercayaan yang benar? Apa yang dimaksud dengan keberimanan yang benar?
Kita dapat memahami kepercayaan yang benar atau keberimanan yang benar melalui dua hal. Pertama, belajar Suara Kebenaran—yakni eksplorasi terhadap Alkitab. Kedua, pengalaman hidup yang konkret, yang setiap hari harus semakin berkualitas tinggi.
Oleh sebab itu, menjadi Kristen tidak otomatis berarti telah memilih Tuhan. Harus dipahami bahwa memilih beragama Kristen dan memilih Tuhan adalah dua hal yang sangat berbeda. Jadi, jika keberimanannya belum benar, berarti orang tersebut belum memilih Tuhan. Maka dari itu, perlu dipahami apa yang dimaksud dengan kepercayaan yang benar.
Apabila seseorang sudah menjadi Kristen sejak kecil, sejatinya ia belum pernah memilih. Ia menjadi Kristen bukan karena memilih, tetapi karena otomatis atau secara turun-temurun menjadi Kristen. Ia tidak pernah benar-benar memilih. Ada pula yang menjadi Kristen karena faktor jodoh—ia memilih pasangannya, bukan memilih Tuhan—atau karena ikut-ikutan saja.
Hidup dalam kepercayaan yang benar, atau hidup beriman, tidak sama dengan sekadar beragama. Dalam hal ini, beragama Kristen dan melakukan syariat hukum-hukum moral agama belum tentu sama dengan hidup dalam iman yang benar. Moral agama yang dipahami banyak orang Kristen umumnya serupa dengan moral agama-agama lain: pergi ke gereja, berdoa atau sembahyang, dan sebagainya. Padahal, hal-hal tersebut belum tentu tepat; belum tentu mewakili kehendak Allah.
Banyak orang masih hidup di level ini—mereka belum menemukan kehidupan dalam iman yang benar. Banyak pula yang berlabuh atau berparkir di level kekristenan semacam itu, yang sejatinya palsu dan semu. Banyak orang Kristen tidak pernah memiliki pengalaman memilih Tuhan secara pribadi.
Yakobus 2:19 berkata, “Engkau percaya bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Mengapa mereka gemetar? Sebab mereka telah mengalami betapa dahsyatnya Allah itu, betapa menggetarkan-Nya keberadaan Allah itu. Jika orang percaya mengalami kedahsyatan Allah, ia pun pasti akan gemetar—tentu dalam versi yang berbeda: gemetar karena kasih dan hormat kepada Allah; itulah takut yang kudus.
Hidup dalam keberimanan yang benar bukan hanya berhenti pada pengakuan percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamat, melainkan sungguh-sungguh mengenal Dia dengan benar dan memadai: melalui Alkitab, melalui pengalaman akan kehadiran-Nya, hingga mengerti kehendak-Nya dan melakukan kehendak itu setiap hari. Orang semacam ini akan selalu mampu mendengar Tuhan berbicara—not merely by law but by will—bukan sekadar melakukan hukum, melainkan mengerti dan melakukan kehendak-Nya.
Namun ironis, sedikit sekali orang yang seperti ini. Bahkan tidak banyak pendeta yang sungguh-sungguh mengalami hal tersebut. Anehnya, mereka pun tidak sungguh-sungguh mau mencari—karena merasa sudah punya gelar, sudah belajar teologi, dan sudah bisa berkhotbah.
Setiap hari, setiap saat, kita dapat mengenal Dia jika kita mau belajar. Karena itu, setiap hari kita tidak boleh tidak harus belajar. Harus ada waktu yang disisihkan untuk belajar: membaca buku, mendengarkan renungan, membaca Alkitab, bermeditasi, dan berdoa di tengah-tengah kesibukan kita. Semua itu merupakan hal yang mutlak.