Skip to content

Hidup ini Berharga

 

Pembaringan terakhir di akhir kehidupan kita, sebelum melepaskan ajal, adalah situasi di mana tidak seorang pun dapat menemani—baik pasangan hidup, orang tua, teman terdekat, maupun siapa pun. Ruang kehidupan akan menjadi begitu sepi dan kosong. Keadaan ini dialami oleh mereka yang tidak memiliki Sahabat Sejati.

Masalahnya ialah, bagaimana membangun persahabatan yang terus-menerus dengan Sang Sahabat Sejati tersebut? Sebab pada pembaringan terakhir, seseorang baru akan menyadari bahwa gelar, kekayaan, pangkat, popularitas, kecantikan, penampilan menarik, kekuasaan, kekuatan fisik, dan apa pun yang selama ini dikejar ternyata sama sekali tidak dibutuhkan.

Segala sesuatu yang dikejar selama hidupnya menguap begitu saja. Itulah yang disebut mamon yang tidak jujur, sesuatu yang tidak dapat dipercayai. Sungguh mengerikan! Mungkin pada waktu seseorang berada di ujung maut, barulah ia merasa membutuhkan seorang pendeta untuk menyampaikan firman Tuhan—namun saat itu sudah terlambat. Keadaan semacam ini memang sulit dibayangkan; pikiran dan perasaan manusia tidak mampu menalar situasi tersebut.

Coba renungkan: jika kita berada di pembaringan terakhir, apakah kita telah memiliki kepastian keselamatan, persahabatan, dan persaudaraan dengan Tuhan? Kita harus memikirkan hal ini dengan sungguh-sungguh.

Kita perlu membayangkan seandainya hari ini adalah hari terakhir kita. Apakah ketika kita menghadap Tuhan, kita didapati berkenan di hadapan-Nya? Ironisnya, banyak orang Kristen tertipu oleh ajaran yang tidak benar: yang penting percaya Yesus, maka pasti masuk surga. Namun “percaya” yang bagaimana, sering kali tidak dijelaskan. Sementara hidup sehari-hari mereka tidak sungguh-sungguh; di sinilah letak persoalannya.

Mengapa manusia harus mati? Karena hidup ini berharga. Dan karena hidup ini berharga, maka kita harus mengisinya dengan hidup yang tidak bercela—mengikut Tuhan Yesus dengan sungguh-sungguh—supaya kita dapat mengakhiri penderitaan di dunia dan memiliki kehidupan yang lebih baik.

Namun karena hidup ini penuh ketidakpastian, jangan menunggu datangnya perang, bencana, atau kekacauan baru kemudian mencari Tuhan. Jadikan hidup ini berharga dengan hidup berkenan di hadapan Tuhan. Hidup harus diakhiri dengan kematian, supaya kita dapat memulai kehidupan yang lebih indah. Kita tidak boleh setengah-setengah dalam mengikut Tuhan. Sikap ini tidak membuat kita menjadi aneh, melainkan justru membuat kita merasakan keindahan hidup di dalam Tuhan.

Manusia masih bisa berkhianat, tetapi Tuhan tidak pernah berkhianat. Karena itu, kita harus terus mencari Tuhan sampai benar-benar mengerti bahwa keselamatan tidak boleh hanya menjadi sebuah keyakinan, tetapi harus menjadi pengalaman hidup yang nyata—di mana seseorang mengisi hari-harinya untuk mengenal Tuhan dan melakukan kehendak-Nya. Milikilah pengalaman konkret bersama Tuhan, supaya kita tidak ragu-ragu.

Pengkhotbah 3:1–4 berkata: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal; ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa…” Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa kita hidup di dalam perjalanan waktu—dan segala sesuatu ada waktunya.

Pengkhotbah 12:1 juga mengingatkan: “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kau katakan: ‘Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!’” Artinya, kita harus mengingat Sang Pencipta sejak dini. Kata “ingat” dalam bahasa Ibrani adalah zakor, yang berarti mempertimbangkan—bukan sekadar mengingat di dalam memori. Maka, kita harus belajar untuk mencari dan mengenal siapa Pencipta kita.

Mari kita membuat pilihan hidup yang benar, yaitu mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh agar kita mengenal-Nya dan dikenal oleh-Nya.

Sebab, seperti yang tertulis dalam Pengkhotbah 12:13–14: “Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat.”

Jika demikian, maka hidup yang kita jalani hari ini sesungguhnya hanya merupakan persiapan untuk kekekalan nanti.