Skip to content

Landasan Hukum Kehidupan

 

Pada kesempatan ini, kita akan mempelajari tentang kuasa atau dampak dari kehendak bebas manusia. Kehendak atau keinginan ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Jika kita membaca Alkitab dalam Kejadian pasal 3, kita dapat melihat betapa besar kuasa, dampak, akibat, dan peran dari kehendak manusia itu.

Allah telah menetapkannya dalam Kejadian pasal 2 ketika Ia berfirman, “Kamu boleh makan semua buah di taman ini, tetapi buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat yang ada di tengah taman itu jangan kamu makan, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” Tuhan memberikan pilihan: semua pohon dalam taman boleh dimakan, tetapi satu pohon—yaitu pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat—tidak boleh dimakan. Sebab pada hari buah itu dimakan, manusia (dalam hal ini Adam dan Hawa) pasti mati. Di sini Tuhan telah meletakkan landasan atau tatanan kehidupan. Ia menegakkan hukum kehidupan bahwa manusia sendirilah yang menentukan keadaannya: apakah ia akan memilih hidup atau memilih mati.

Dalam Kejadian 3, kita membaca kisah yang sangat tragis—kisah ketika kehendak bebas manusia dimainkan dalam arena pilihan. Dan ternyata, manusia memilih untuk memakan buah yang dilarang Allah. Akibatnya, matilah manusia. Roma 3:23 mencatat bahwa karena kesalahan Adam, semua manusia—termasuk kita—telah kehilangan kemuliaan Allah. Artinya, manusia tidak mampu mencapai keberadaan atau kodrat seperti yang Allah inginkan, yaitu memiliki kodrat ilahi—kemampuan untuk selalu membuat keputusan dan kehendak yang sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.

Namun Allah tidak gagal. Rencana Allah tidak batal, melainkan hanya tertunda. Allah merancang keselamatan bagi manusia. Sejak semula, Allah menghendaki adanya makhluk yang menjadi kesukaan-Nya, yang memiliki keadaan seperti Allah—memiliki pikiran dan perasaan.

Dari dua komponen itu, manusia dapat menciptakan, membuahkan, dan membuat kehendak. Komponen inilah yang menjadikan manusia memiliki kehendak bebas. Kualitas kehendak seseorang ditentukan oleh kualitas pikirannya dan perasaannya: apakah kehendaknya selaras dengan kehendak Allah atau tidak. Roma 12:2 mengatakan bahwa manusia harus mengalami pembaharuan budi atau pikiran, agar kehendaknya makin hari makin presisi, sehingga dapat mengerti apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna di hadapan Allah.

Tentang kesempurnaan ini, Tuhan Yesus berkata, “Kamu harus sempurna seperti Bapamu yang di surga sempurna.” (Matius 5:48). Kalimat ini bukan sekadar hiasan dalam Alkitab, melainkan menunjukkan rencana Allah untuk memiliki ciptaan yang disebut anak-anak Allah. Sebab roh yang ada dalam diri manusia berasal dari Allah sendiri.

Yakobus 4:4–5 mengatakan bahwa bukan tanpa alasan Kitab Suci menyatakan bahwa roh yang ditempatkan dalam diri manusia itu diingini Allah dengan cemburu. Kecemburuan di sini berbicara tentang hak milik. Roh itu memang milik Allah. Karena itu Alkitab mengatakan bahwa tubuh akan kembali ke tanah, tetapi roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya. Namun, jika kehendak manusia tidak sesuai dengan kehendak Allah—yang itu membuahkan perbuatan yang jahat—maka ia tidak akan kembali kepada Allah.

Keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus dimaksudkan untuk mengembalikan manusia kepada rancangan semula Allah, yaitu manusia yang memiliki kemuliaan Allah. Kemuliaan Allah dalam diri manusia tampak dalam kemampuannya bertindak selalu sesuai dengan kehendak Allah, atau memiliki moralitas kesucian.

Ketika Alkitab berkata, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus” (1 Petrus 1:16), maknanya adalah agar kita memiliki kehendak yang selalu selaras dengan kehendak Allah—bukan kehendak yang bertentangan dengan-Nya. Karena itu, dapat dimengerti ketika dalam Injil Matius 7:21–23 Tuhan Yesus berkata bahwa orang yang tidak melakukan kehendak Bapa akan ditolak oleh-Nya. Sebab inti kehidupan orang percaya bukan hanya mengenal kehendak Allah, tetapi hidup dalam ketaatan total kepada kehendak itu.