Pekerjaan Pekerjaan besar dan berat yang harus ditunaikan oleh gereja dan hamba Tuhan adalah menghadirkan Allah sebagai realitas dalam hidup jemaat. Tidak sulit untuk mengaku percaya bahwa Allah itu ada. Terlebih dalam masyarakat yang religius seperti kita, dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa,” bertuhan sudah menjadi hal yang wajar. Tidak sulit untuk mengaku percaya, bahkan untuk menyatakan keyakinan bahwa Allah itu ada. Namun, mengalami Allah sebagai realitas bukan sekadar diyakini dengan kata-kata, tetapi harus dialami dalam kehidupan sehari-hari. Dan jika kita sungguh-sungguh mengalaminya, nilainya lebih berharga daripada seluruh harta di dunia ini dikumpulkan sekalipun.
Sebaliknya, jika Allah tidak menjadi realitas dalam hidup seseorang, maka orang itu sejatinya hidup tanpa Tuhan. Firman Tuhan menegaskan: “Orang bebal berkata dalam hatinya: ‘Tidak ada Allah.’ Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik. TUHAN memandang ke bawah dari sorga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah” (Mzm. 14:1–2). Pertanyaannya: adakah orang yang berakal budi dan sungguh-sungguh mencari Allah? Adakah yang memakai akal sehatnya untuk mengalami Tuhan sebagai realitas? Bahkan sebenarnya, Allah jauh lebih nyata daripada segala yang kita lihat, sentuh, atau rasakan di bumi ini.
Sebab segala sesuatu yang kelihatan akan lenyap, tetapi Allah adalah abadi. Itu berarti, Allah lebih dari sekadar realitas duniawi. Tidak ada orang yang lebih celaka daripada mereka yang tidak mengenal Allah dan tidak mengalami-Nya. Sebaliknya, tidak ada orang yang lebih beruntung daripada mereka yang sungguh-sungguh mengalami bahwa Allah itu nyata. Kedengarannya sederhana, bahkan mungkin sekilas terkesan filosofis. Tetapi ingat, kita hidup dalam realitas: baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Yang kelihatan bersifat sementara, sedangkan yang tidak kelihatan itulah yang kekal—ada pengadilan Allah, ada surga dan neraka. Ironisnya, banyak orang mengabaikan hal-hal yang tidak kelihatan itu.
Paulus berkata dalam 2 Korintus 4:18: “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan; karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.” Masalahnya, sebagian besar orang Kristen tidak mengalami Tuhan secara riil dalam hidupnya. Sebab semakin seseorang menalar Allah, semakin ia berisiko menjadikan Tuhan hanya sebagai pengetahuan atau konsep. Padahal, menjumpai Tuhan sebagai realitas pasti menimbulkan kegentaran.
Mereka yang tidak mengalami Tuhan sebagai realitas pasti hidupnya tidak kudus dan tidak merindukan perjumpaan dengan Tuhan. Jika hal ini tidak diajarkan atau tidak dialami, maka generasi muda kita akan hilang. Memang, hari ini anak-anak muda masih datang ke gereja karena pertemanan atau aktivitas yang menyenangkan. Namun, pertanyaannya: apakah dalam kehidupan sehari-hari mereka sungguh-sungguh mengalami Tuhan? Sebab mengalami Tuhan bukan hanya ketika di gereja, melainkan di setiap menit, jam, dan hari, di luar gereja, dalam keseharian hidup.
Pengalaman hidup justru menggiring kita untuk mengalami Tuhan. Ketika menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan manusia, kita dipaksa untuk semakin mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh. Pengalaman semacam itu “memaksa” kita menjadikan Allah sebagai realitas dalam hidup kita. Pengalaman hidup membuat kita, yang pertama, benar-benar berjuang untuk hidup suci, dan kita sangat tidak sejahtera kalau kita berbuat dosa; yang kedua, perjumpaan dengan Tuhan membuat kita rela berkorban apa pun untuk pekerjaan-Nya. Dan yang ketiga, orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan itu berani menaruh seluruh pengharapannya atas kedatangan Tuhan.