Filipi 3:18 menuliskan: “Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus.” Mereka adalah orang-orang yang tidak hidup sesuai dengan maksud salib itu diadakan. Salib Kristus hadir untuk menebus dosa dan mengubah manusia. Namun ada orang yang tidak mau berubah. Mereka menolak maksud salib, dan karena itu mereka menjadi musuh salib Kristus.
Ayat 19 melanjutkan: “Kesudahan mereka ialah kebinasaan; Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka; pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi.” Kepada siapa seseorang menundukkan diri, dialah rajanya, dialah kurios-nya, dialah majikannya, dialah Tuhannya. Tuhan kita bukanlah yang lain. Tuhan kita adalah Allah Bapa, dan Tuhan kita adalah Yesus Kristus.
Selanjutnya, ayat 20 menegaskan: “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.” Jangan sampai ada di antara kita yang tidak menghargai nilai-nilai rohani. Jika kita benar-benar menghargainya, maka ketika berada di hadapan Tuhan kita pasti hormat dan menyembah-Nya. Tidak menghargai nilai-nilai rohani berarti juga tidak peduli dengan hal Kerajaan Surga.
Ironisnya, banyak orang Kristen tidak menghayati bahwa mereka adalah anggota Kerajaan Surga. Padahal, hal ini sangat penting dan utama, sehingga harus digumuli dan ditekuni dengan sungguh-sungguh. Kita harus dientaskan dari pola pikir duniawi. Orang yang sudah tidak peduli gereja biasanya menganggap gereja dan pendeta hanya manipulasi atau pemanfaatan. Memang ada gereja dan pendeta yang demikian, tetapi tidak semuanya. Namun karena ada kenyataan buruk tersebut, orang merasa memiliki pembenaran untuk tidak menghargai gereja.
Pikirkan kekekalan! Jangan sombong. Jika kita tidak bertuhankan Tuhan, maka tuhan kita adalah diri kita sendiri. Kita menjadikan diri sebagai hukum, diri sebagai raja: mau berbuat apa, kita lakukan; mau berkata apa, kita ucapkan; mau memikirkan apa, kita pikirkan semaunya. Ada orang yang sengaja mencari konflik untuk menunjukkan kekuatannya. Anehnya, hal itu benar-benar bisa terlihat kuat. Ia tidak suka seseorang, lalu sengaja berkonflik, berbenturan, hanya untuk membuktikan keperkasaannya, hingga orang lain mengakuinya. Jangan jadi orang seperti itu. Itu kesombongan. Jika kita anggota keluarga Kerajaan Allah, kita harus tunduk kepada Allah.
Setiap negara atau kerajaan pasti memiliki hukum. Negara kita punya hukum. Demikian pula Kerajaan Allah: hukum-Nya adalah Tuhan sendiri, yang menaruh Roh Kudus di dalam hati kita. Roh Kudus memberi tahu apa yang berkenan dan tidak berkenan di hadapan Allah. Kecuali kita memang tidak pernah berurusan dengan Roh Kudus, tidak pernah berdoa, tidak pernah mempersoalkan: apakah ini berkenan di hadapan Tuhan atau tidak? Itu berarti kita tidak sungguh-sungguh mencari Kerajaan Allah.
Orang yang mencari Kerajaan Allah akan tekun memeriksa dan membedakan setiap pikiran, perasaan, perkataan, dan tindakannya—apakah sesuai kehendak Allah atau tidak. Kita bukan bangsa gelandangan di wilayah netral tanpa tuan. Kita adalah anggota keluarga Kerajaan Allah yang memiliki hukum. Tuhanlah hukumnya, dan Roh Kudus adalah meterai-Nya dalam diri kita. Apakah kita mendukakan Roh Kudus atau menyenangkan-Nya, itulah yang menentukan legalitas kita sebagai anggota keluarga Kerajaan Allah. Mari kita berubah selagi masih ada kesempatan.