Secara administratif dunia, kita adalah warga negara Indonesia, bukan warga gelandangan yang tidak jelas. Namun dari perspektif kekekalan, kita warga siapa? Selama masih mengenakan tubuh daging, kita membutuhkan status. Misalnya, ketika bepergian ke luar negeri, kita harus membawa paspor. Itu yang dibutuhkan secara administratif dunia. Tetapi jika kita meninggal dunia, kita warga siapa? Itulah persoalan yang harus dipastikan.
Firman Tuhan berkata: “Carilah dahulu Kerajaan Allah.” Kalimat ini sama artinya dengan: “Usahakanlah dirimu menjadi anggota Kerajaan Allah.” Itulah sebabnya firman Tuhan juga menegaskan: “Walaupun manusia lahiriah kami semakin merosot, manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari” (2 Korintus 4:16). Artinya, jadilah anggota Kerajaan Allah dengan mengusahakan karakter, sifat, dan natur dari Kerajaan itu. Pertama-tama kita harus menghayati bahwa kita bukan bangsa gelandangan; kita memiliki status. Pertanyaannya: apakah kita memenuhi status kita sebagai anak-anak Allah?
Di sinilah gereja berperan untuk terus mengusahakan, mengampanyekan, dan mendorong jemaat menjadi warga Kerajaan Allah. Firman-Nya harus terus menyunat batin, menyunat hati kita. Jika sunat fisik adalah tanda lahiriah, maka sunat hati berarti pemutusan dari kelemahan-kelemahan, watak dosa, dan sifat-sifat dosa kita. Pertobatan bukan peristiwa sekali jadi, melainkan proses yang berlangsung terus-menerus. Apa pun yang kita sukai tetapi tidak sesuai dengan kehendak-Nya, di situlah Tuhan akan melukai kita. Apa pun yang paling kita senangi tetapi tidak berkenan di hadapan Tuhan, harus kita lepaskan. Itulah menyangkal diri.
Masalahnya, jika kita tidak menyadari bahwa kita anggota keluarga Kerajaan dan tidak mau mengenakan status dari sunat hati, kita tidak akan mengalami proses pembaharuan. Akibatnya, ketika meninggal dunia, kita tidak dikenal Tuhan. Tuhan akan berkata: “Aku tidak kenal kamu. Kamu tidak melakukan kehendak Bapa. Kamu tidak mengalami sunat batin.” Jangan hanya sibuk menjadi pendeta atau sibuk melayani kegiatan gereja, tetapi tidak mempersoalkan apakah kita berkenan di hadapan Tuhan atau tidak.
Masalah dalam hidup tidak akan pernah selesai; akan selalu ada. Jangan memberhalakan masalah. Apa pun yang terjadi, biarlah terjadi, tetapi yang terutama adalah bagaimana sunat batin kita berlangsung, bagaimana kita terus diperbarui menjadi pribadi yang berkarakter sebagai anggota Kerajaan Allah. Jika fokus kita hanya pada masalah, kita tidak akan bertumbuh. Justru masalah seharusnya menjadi pemicu, karena Allah memakai segala peristiwa hidup untuk menyempurnakan kita.
Kita harus mempersoalkan: bagaimana mungkin kita dapat berada di sana—di Kerajaan Surga—jika kita tidak memenuhi karakteristik dan kualifikasinya? Kita harus benar-benar hidup di hadirat Allah, hidup suci, dan layak membuka pintu surga untuk menerima firman. Para orang tua pun demikian: bagaimana mereka bisa menjadi alat di tangan Tuhan untuk menjadi berkat bagi keluarga, menjadi teladan, dan sosok yang layak dicontoh? Karena itu, kita harus serius mengenakan sifat-sifat Allah, supaya benar-benar layak disebut sebagai anak-anak Allah yang memiliki moralitas dan kesucian-Nya.
Filipi 3:6–9 mencatat bagaimana Paulus melepaskan segala kebanggaannya dan menganggapnya sampah, supaya ia memperoleh Kristus. Ada proses pertukaran, ada barter rohani. Jika kita masih terikat dengan kebanggaan dunia dan percintaan dunia, kita tidak akan memiliki Kristus. Paulus menegaskan dalam ayat 17: “Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.” Hidup Paulus adalah standar hidup orang beriman, standar hidup warga Kerajaan Allah. Dan di sini Paulus membuka ruang: bukan hanya dirinya, tetapi juga orang-orang lain bisa menjadi teladan—termasuk kita yang sungguh-sungguh hidup sebagai warga Kerajaan Allah.