Jika kita benar-benar mengerti dan menghayati kekekalan, kita akan mendapati bahwa banyak orang sebenarnya belum siap menjadi makhluk kekal. Bahkan ada yang menolak keberadaan dirinya sebagai makhluk kekal. Cobalah lihat binatang. Sepandai-pandainya binatang, ia tetap binatang. Hewan tidak menyadari dan tidak memiliki komponen untuk bisa menghayati kekekalan. Manusia berbeda, karena manusia diberi roh untuk memahami dan mengalami kekekalan.
Namun kenyataannya, banyak orang Kristen ketika sampai pada titik harus meninggalkan dunia, tidak rela. Di situ terjadi stagnasi rohani—mereka berhenti. Kalau jujur, banyak yang masih ingin mencari variasi hidup lain di bumi ini. Padahal kita harus memindahkan hati kepada langit baru dan bumi baru. Bagi para pengkhotbah sekalipun—yang terus bicara tentang kekekalan dan Kerajaan Surga—menyeberangkan hati sepenuhnya tidak mudah. Apalagi jika hanya mendengar sambil lalu, tanpa kesungguhan. Sama halnya dengan mengaku percaya bahwa Allah ada; tetapi bagaimana kita bisa memiliki kegentaran seolah-olah sedang berdiri di hadapan pengadilan-Nya? Itu tidak mudah.
Mudah untuk berkata, “Aku taruh Tuhan di mataku,” tetapi faktanya kita tidak sungguh-sungguh menghayati kehadiran Allah. Kita lupa bahwa Allah hidup dan mata-Nya mengawasi kita, seperti kamera tersembunyi yang selalu aktif. Buktinya jelas: kita masih sembarangan berbicara, berpikir, dan bertindak. Memang tidak mudah menghayati Allah yang hidup, karena Dia tidak kelihatan. Sama seperti tidak mudah menyeberangkan hati hanya dengan berbicara tentang langit baru bumi baru.
Kita semua pasti pernah mengalami masa sulit. Kadang kita terjepit, dan seakan-akan Tuhan tidak membela kita. Bahkan ada saat-saat ketika Tuhan justru membawa kita ke situasi di mana kita direndahkan, dikalahkan, disalahkan. Bukan hanya oleh orang luar, melainkan juga oleh orang-orang dekat yang kita kasihi dan percayai—namun justru menikam kita. Dalam keadaan itu, kita menjerit, “Tuhan, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Tetapi sebenarnya, justru itulah proses yang membuat kita menghayati bahwa Allah hidup.
Hari ini, marilah kita bulatkan tekad. Kita mau berjalan terus, terbang terus, tanpa menoleh ke kanan atau kiri. Dunia sudah memasuki masa krisis. Semakin hari semakin fasik. Bagi kita yang sungguh-sungguh mau benar saja sudah tidak mudah, apalagi yang hidupnya setengah hati. Banyak orang memang tidak siap menjadi makhluk kekal. Karena itu Tuhan luar biasa dalam memproses kita melalui berbagai kejadian.
Bagi mereka yang tidak mau mendengar, tidak masalah bagi mereka. Mereka tetap sibuk menikmati dunia. Mereka berkata, “Apa itu berkemas-kemas?” Mereka tidak akan sanggup, sebab hatinya sudah terikat. Tetapi kita tidak boleh menilai orang dari perspektif kita sendiri. Kita harus menilainya dari perspektif Alkitab. Kita harus berusaha memiliki pikiran Perjanjian Baru—pikiran dan perasaan Kristus. Memang tidak wajar bagi manusia duniawi. Namun bagi orang yang sungguh-sungguh mau menyeberangkan hati, ia akan mulai mengerti. Sejujurnya, kadang kita merasa jenuh. Dan ternyata itu terjadi karena kita mempunyai kesenangan. Tetapi ketika kita sungguh-sungguh meninggalkan dunia, tidak memiliki kesenangan selain Tuhan dan Kerajaan-Nya, kita seperti mulai dari nol—starting from zero. Kita tidak lagi mau menoleh ke belakang. Kita hanya ingin terus terbang, karena memang tidak ada lagi yang layak dipertahankan.
Jika seseorang masih senang dengan dunia, ia pasti tidak akan mengerti. Walaupun ia seorang hamba Tuhan yang terjun dalam pelayanan, ia tetap bisa menyimpan kesenangan pribadi: senang menjadi pendeta, senang memimpin, senang berkhotbah karena dilihat orang. Bukan berarti tidak boleh berkhotbah atau menyampaikan firman—itu memang harus. Tetapi kebahagiaan kita jangan diletakkan di situ. Kebahagiaan kita haruslah hanya di dalam Tuhan dan Kerajaan-Nya.