Mengapa banyak orang Kristen datang ke gereja, mendengarkan kotbah, tetapi tetap tidak menghayati tragisnya hidup? Pasti karena salah asuh. Puji Tuhan bila kemudian Ia mengubah hidup kita dan memberikan pengertian yang baru, sehingga melalui perjalanan hidup kita semakin memahami betapa tragisnya hidup ini.
Di Perjanjian Lama, kita tidak menemukan pernyataan eksplisit tentang ketragisan hidup. Mengapa? Pertama, karena orientasi umat Perjanjian Lama—khususnya bangsa Israel—masih duniawi. Target mereka adalah tanah yang berlimpah susu dan madu, kejayaan lahiriah, serta kemuliaan duniawi. Kedua, karena pada waktu itu belum ada solusi: belum ada penebusan, belum ada anugerah, belum ada salib.
Itulah sebabnya bila sekarang kita mendengar kotbah-kotbah yang diambil dari ayat-ayat Perjanjian Lama tanpa melihat konteksnya—seakan-akan kehidupan bangsa Israel bisa dijadikan standar hidup orang percaya—maka di situ terjadi penyimpangan, bahkan sampai pada tingkat penyesatan. Orientasi umat Perjanjian Lama memang duniawi. Akibatnya, jemaat pun berorientasi pada hal-hal duniawi, tidak mampu menyeberangkan hatinya ke arah kekekalan, tidak sanggup memikirkan langit baru dan bumi baru, serta gagal menghayati tragisnya hidup karena masih sibuk mencari kesenangan di bumi ini.
Memasuki Perjanjian Baru, arah kehidupan orang percaya jelas: tertuju pada hidup yang akan datang. Dunia ini tragis, tidak bisa lagi diharapkan. Karena itu Yesus berkata, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga.” (Mat. 6:19–20). Ia juga berkata dalam Yohanes 14:2b–3: “Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.” Tuhan Yesus menyediakan tempat bagi kita di surga. Banyak orang secara logika setuju, tetapi penghayatan mereka gagal, karena irama hidup yang sudah salah dan permanen dalam kesalahan itu.
1 Petrus 1:3–4 menuliskan: “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan.” Perhatikan: bagian itu bukan untuk di bumi, melainkan untuk nanti. Sebab oleh kematian dan kebangkitan Yesus, kita dilahirkan dari kematian. Dalam Yesus Kristus, kita memiliki hidup yang penuh pengharapan. Sebagai manusia, kita pasti mati. Namun kematian tidak lagi tragis bila kita memiliki kebangkitan.
Itulah sebabnya bila Saudara membaca Kisah Para Rasul, pemberitaan Injil Paulus selalu menekankan kebangkitan. Ironisnya, hari ini kita nyaris tidak mendengar lagi pengajaran tentang kebangkitan. Langit baru dan bumi baru pun hampir tidak pernah dibicarakan. Padahal kita tidak boleh menjadi bagian dari dunia ini, dan dunia tidak boleh menjadi bagian dari hidup kita. Namun karena sudah begitu akrab dengan dunia, banyak orang Kristen justru melebur di dalamnya. Akibatnya, mereka tidak mampu menghayati tragisnya hidup, dan tidak sanggup memindahkan hati ke Kerajaan Surga.
Alkitab berulang kali menegaskan bahwa kita dibenarkan bukan karena perbuatan, melainkan karena iman. Tetapi iman bukan sekadar nalar atau pikiran yang meyakini sesuatu. Ironis, banyak orang Kristen merasa sudah memiliki iman hanya karena mengaku Yesus Juru Selamat. Iman bukan sekadar pengakuan—iman adalah tindakan. Alkitab selalu mengacu kepada hidup Abraham. Karena itulah orang percaya disebut anak-anak Abraham oleh iman. Artinya, kehidupan Abraham harus menjadi model, prototipe bagi kehidupan iman kita. Bila kita tidak memiliki model iman seperti Abraham, berarti kita belum sungguh-sungguh beriman.