Orang yang mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini demi ketenangan dan kenyamanan hidup, pada akhirnya tidak mungkin tidak berkhianat kepada Tuhan. Tuhan telah menaruh sebuah rongga—ruangan kosong dalam jiwa manusia—yang harus diisi. Pertanyaannya, diisi oleh Tuhan atau oleh perkara lain? Jika seseorang terbiasa mengisi ruang kosong hidupnya dengan perkara dunia, ia tidak akan pernah lagi memiliki kehausan akan Allah. Itulah yang membawa kebinasaan. Manusia diciptakan Tuhan dengan “kunci” atau “belenggu”, dijadikan sandera, sehingga tanpa Tuhan manusia tidak dapat hidup. Manusia akan selalu membutuhkan Tuhan. Bahkan seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, ia tetap membutuhkan Tuhan.
Kita belajar firman agar kehausan akan Tuhan dihidupkan dan ditumbuhkan, sampai dunia tidak lagi dapat menenggelamkan kita. Hingga akhirnya kita bisa berkata, “Tuhan adalah nyawaku.” Namun ini bertentangan dengan prinsip dunia. Dunia mengajarkan bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga. Padahal, sejatinya harta yang paling berharga bukanlah keluarga, melainkan Tuhan. Ketika Tuhan menjadi harta yang paling berharga dalam hidup kita, barulah keluarga kita akan selamat. Tetapi jika keluarga dijadikan harta terutama, belum tentu mereka selamat. Bahkan kita bisa kehilangan mereka untuk selamanya.
Karena itu, orang tua harus sungguh-sungguh takut akan Allah, agar anak-anak pun digarami. Itulah warisan yang paling mahal. Ketika anak-anak hanya mendapat limpahan harta dan uang, sebenarnya orang tuanya sedang merusak mereka. Dan kelak, mereka pun akan merusak anak-anaknya dengan cara yang sama. Kita harus mengubah cara berpikir kita. Inilah ajaran Tuhan Yesus. Jika kita mengaku percaya kepada-Nya, maka kita harus mengenali kebenaran itu, hidup di dalamnya, dan melakukannya. Jangan kalap! Itu hanya egoisme. Kita mengira sedang menyayangi keluarga dengan memanjakan mereka supaya bahagia, padahal sesungguhnya kita sedang membinasakan mereka.
Harta yang paling berharga adalah Tuhan. Mutiara yang tak ternilai itu adalah Tuhan, bukan siapa pun. Maka kita harus menempatkan Tuhan secara benar. Untuk itu, orang harus belajar kebenaran, supaya pengetahuan tentang Tuhan cukup. Bila pengetahuan kita tentang kebenaran memadai, barulah kita dapat mengenal Tuhan dengan benar. Dengan pengenalan akan Tuhan, seseorang akan menemukan tujuan hidupnya.
Menemukan tujuan hidup bukan sekadar definisi, melainkan penghayatan yang mencengkeram seluruh jiwa. Itulah yang mengubah selera hidup kita. Kehausan kita bukan lagi kepada dunia, melainkan kepada Tuhan. Ruangan kosong dalam jiwa kita hanya dapat diisi oleh Tuhan. Bila itu terjadi, kita akan menikmati Tuhan seperti “kecanduan”, sampai dunia tidak lagi menarik. Namun ini bukan sesuatu yang sederhana. Butuh perjuangan! Jika seseorang lebih senang jalan-jalan daripada beribadah, lebih sibuk dengan urusan keluarga tetapi melupakan doa, Alkitab, dan firman Tuhan—itu mengerikan.
Kita memang harus memenuhi bagian kita untuk keluarga. Jika tidak, kita sama saja seperti orang yang tidak mengenal Allah. Tetapi jangan kebablasan, kalap, sampai melupakan bagian kita untuk Tuhan. Semua kita memang orang-orang berdosa, tetapi yang pertama kita harus meninggalkan cara hidup lama dan berubah. Kedua, arahkan hati kepada langit baru dan bumi baru. Ketiga, bertanggungjawablah menjaga kesehatan tubuh, bekerja keras, rajin, dan giat mencari nafkah, sebab ada keluarga lain yang juga harus kita perhatikan. Belajarlah dari perkara-perkara kecil dalam keseharian hidup.
Nilai jiwa kita lebih berharga daripada seluruh kekayaan jagat raya. Inilah keindahan hidup: kita diberi kesempatan untuk mempersembahkan bagian kita kepada Tuhan. Pasti setiap orang memiliki proyek-proyek kecil yang Tuhan percayakan, entah itu keponakan, tetangga, atau siapa pun. Tidak harus di gereja, tetapi tentu gereja pun harus mendapat bagian, sebab di sanalah pusat pelayanan untuk menolong banyak orang. Jangan sampai keindahan dunia membuat kita tenggelam, sehingga kita gagal menjadi anak-anak Allah yang layak dimuliakan bersama dengan Tuhan.