Skip to content

Mengabaikan Keselamatan

 

Sejatinya, hal kehilangan nyawa atau menyerahkan nyawa adalah ajaran Tuhan Yesus sendiri. Nyawa atau jiwa berbicara mengenai kesukaan, kesenangan, dan kebahagiaan. Bagi manusia pada umumnya, yang menjadi sumber kesukaan, kesenangan, dan kebahagiaan ada tiga hal utama. Yang pertama, keluarga—hal ini tidak bisa dibantah. Yang kedua, keindahan dunia, yakni materi, sanjungan, gelar, pangkat, dan kedudukan. Dan ketiga, kenyamanan. Inilah yang membuat manusia merasa hidupnya lengkap dan utuh.

Matius 10:34–39 menegaskan: “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya. Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”

Terus terang, sulit menjelaskan kebenaran ini kepada banyak orang, sebab cara berpikir, konsep, asumsi, dan pandangan manusia sudah sangat jauh dari Injil yang murni. Sebaliknya, bagi mata dunia, ajaran ini dianggap aneh dan tidak masuk akal. Namun inilah kebenaran. Keluarga adalah nyawa, kesukaan, dan kebahagiaan. Tidak heran bila seseorang yang belum menikah merasa belum lengkap. Sudah menikah tetapi belum memiliki anak, juga merasa belum lengkap. Sudah memiliki anak tetapi belum sukses, tetap merasa belum lengkap. Anak sudah sukses, belum lengkap bila belum ada menantu. Sudah ada menantu, belum lengkap bila belum ada cucu, dan seterusnya. Demikianlah manusia mencari kelengkapan dalam keluarga.

Namun apa yang diajarkan Tuhan bertentangan dengan naluri kemanusiaan. Jika kita tetap mengasihi nyawa kita, memeliharanya, dan tidak rela kehilangan nyawa demi Kristus, justru kita akan kehilangan nyawa itu sendiri. Kehilangan nyawa, dalam hal ini keluarga, bukan berarti kita boleh atau harus menelantarkan keluarga. Tetapi jangan sampai karena keluarga seseorang mengabaikan keselamatan dirinya, keselamatan keluarganya, bahkan keselamatan banyak orang di kekekalan.

Banyak orang kalap demi mencapai target kebahagiaan rumah tangga. Mereka mengabaikan tanggung jawabnya di hadapan Tuhan. Pada zaman gereja mula-mula, seorang bapak rela dipenjara bahkan mati demi imannya. Tetapi ketika melihat istri dan anak-anaknya ikut teraniaya, ia bisa tergoda menyangkal Yesus. Ini contoh ekstrem. Kita memang tidak mengalami hal itu, tetapi substansinya sama. Banyak orang hari ini sibuk memberikan rumah, mobil, pendidikan, dan harta berlimpah kepada anak-anaknya, sementara pekerjaan Tuhan dan nasib orang lain diabaikan.

Tuhan memang menciptakan perkawinan, dan dari perkawinan lahirlah lembaga keluarga. Namun baik perkawinan maupun keluarga masa kini sudah tidak lagi seperti tatanan Allah semula. Manusia telah kurang (Yunani: yustereo) dari kemuliaan Allah. Manusia belum mencapai keadaan yang sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Bahkan Adam dan Hawa pun belum sepenuhnya mencapainya, sebab karakter mereka belum sampai pada gambar dan rupa Allah. Seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, manusia akan menjadi sempurna, saling mengasihi, dan menjadi satu keluarga besar umat Allah.

Tetapi dunia kita hari ini telah rusak. Manusia terpecah-belah oleh suku, agama, ras, sosial-ekonomi, dan berbagai sekat lainnya. Apakah dunia yang penuh kerusakan seperti ini yang Allah kehendaki? Tentu tidak. Karena itu, Tuhan Yesus mengajarkan agar kita berani kehilangan nyawa demi memperoleh keselamatan sejati.