Skip to content

Lebih dari Keluarga

 

Matius 10:34–36
“Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.”

Jika kita meninjau konteks zaman itu, dapat dibayangkan betapa ekstrem situasinya. Orang tua mana yang rela melihat anaknya dipancung atau dipotong kepalanya di depan mata mereka sendiri? Pada masa itu, istri, anak, dan keluarga bisa ditawan karena iman kepada Yesus. Mungkin seorang ayah rela dianiaya bahkan mati, tetapi ia tidak rela anaknya mengalami hal serupa. Namun kenyataannya, karena iman kepada Tuhan Yesus, anak-anak pun turut menderita: ada yang disembelih di hadapan orang tua, ada yang digiring beramai-ramai masuk ke kandang binatang buas untuk dimakan. Inilah yang sering membuat para orang tua berkata, “Sudah, kita tidak usah jadi Kristen. Kita percaya dalam hati saja, yang penting kita tidak berkhianat kepada Yesus.” Padahal, Tuhan Yesus dengan tegas berkata dalam Lukas 12:9, “Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, ia akan disangkal di depan malaikat-malaikat Allah.”

Mengapa Yesus menekankan hal ini? Karena Ia mencari orang yang benar-benar bisa berjuang bersama-Nya. Orang Kristen sejati rela kehilangan keluarga demi setia kepada Kristus. Dalam kondisi ekstrem, tidak ada “kerajaan keluarga” yang boleh menggeser Kerajaan Allah. Padahal keluarga sering kali dianggap sebagai nyawa dan pusat kebahagiaan manusia. Tetapi Yesus yang memisahkan anak dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, dan menantu dari mertuanya, sedang menguji kesetiaan yang sejati.

Pertanyaan penting bagi kita hari ini: bagaimana perlakuan kita terhadap keluarga selama ini? Apakah keluarga sudah menjadi “kerajaan” yang dipandang sebagai segala-galanya? Jika demikian, hal itu justru dapat merusak kesetiaan kita kepada Tuhan. Namun, hal ini tidak berarti kita boleh mengabaikan atau tidak setia kepada keluarga. Yesus berkata dalam Matius 10:37: “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” Penerapan konkret ayat ini tentu berbeda-beda bagi setiap orang, sesuai keadaan masing-masing. Namun Roh Kudus menolong kita untuk mendahulukan Kerajaan Allah di atas keluarga sendiri.

Coba perhatikan: banyak orang tua rela mengorbankan berapa pun biaya untuk menyekolahkan anaknya. Tetapi, seberapa mereka peduli pada anak-anak orang lain yang tidak mampu bersekolah? Seberapa mereka memperhatikan pekerjaan Tuhan? Sebaliknya, berapa banyak anak konglomerat mati tragis di luar negeri karena kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan? Dapatkah kita sungguh-sungguh melindungi anak-anak kita?

Kenyataannya, hanya dengan membangun Kerajaan Allah dalam hidup keluarga, barulah kita bisa percaya bahwa Bapa akan melindungi orang yang kita kasihi sampai kekekalan. Mengapa kita tidak menempatkan Tuhan sebagai yang utama? Jika kita sungguh-sungguh mendahulukan Tuhan, percayalah: anak-anak kita akan dipelihara-Nya. Mereka memiliki rezeki masing-masing, berkat masing-masing. Jangan hanya menumpahkan seluruh harta untuk anak-anak, tetapi didiklah mereka mengenal Allah. Inilah warisan abadi yang jauh lebih berharga daripada harta duniawi.

Bila kita membela Tuhan lebih dahulu, maka Tuhan sendiri yang akan membela keluarga kita. Tetapi bila kita membela keluarga lebih daripada Tuhan, siapakah yang akan membela keluarga kita, sementara kemampuan kita begitu terbatas? Biarlah Tuhan yang membela keluarga kita. Orang Kristen yang benar justru akan mengasihi keluarganya secara benar, bukan dengan menomorsatukan mereka di atas Tuhan. Jika ada rumah tangga yang tidak harmonis—suami yang dikhianati istri, istri yang dikhianati suami, atau anak-anak yang bermasalah—jangan biarkan itu menghancurkan iman. Jika kita tenggelam dalam masalah keluarga, berarti kita telah memberhalakan keluarga.

Ingatlah! Jangan hanya menghujani anak-anak dengan berkat jasmani, tetapi tanpa sadar membiarkan mereka berjalan menuju kebinasaan. Mereka akan dipelihara dengan sempurna oleh Tuhan jika kita menuntun mereka kepada kebenaran-Nya. Oleh sebab itu, kita harus berani berubah: melangkah dengan keyakinan bahwa kesucian sejati dapat dicapai, dan keterikatan dengan dunia dapat dilepaskan.