Dalam situasi di mana Allah tampak seolah tidak hadir dan tidak peduli, Allah yang Maha Besar dan Maha Agung tetap layak untuk dipercayai. Keyakinan kepada Allah tidak boleh bergantung pada manifestasi yang kasat mata atau pertolongan yang segera. Jika Allah mudah menyatakan diri, lalu kita berkata, “Aku percaya kepada-Mu,” itu bukanlah bentuk iman yang mendalam, melainkan respons yang bersifat alami. Namun, ketika Allah seolah tidak hadir — terutama dalam situasi pergumulan yang panjang dan berat, di mana pertolongan-Nya tidak tampak — tetapi kita tetap percaya, maka iman itu menunjukkan kualitasnya yang sejati.
Iman yang berkualitas adalah iman yang tidak didasarkan pada doa dijawab atau mukjizat terjadi, melainkan pada pengakuan yang teguh terhadap keagungan, kebesaran, dan kemuliaan Allah, sekalipun keadaan memburuk. Pujian dan tepuk tangan bagi Allah tidak seharusnya hanya diberikan saat mengalami kesembuhan, pertolongan, atau kelimpahan; tetapi juga pada saat-saat ketika penderitaan berlarut-larut dan pertolongan seolah tak kunjung datang.
Contoh iman berkualitas ini dapat ditemukan dalam kehidupan Abraham. Ketika diperintahkan untuk mempersembahkan Ishak, anak yang dijanjikan dan sangat dikasihi, Abraham tidak mempertanyakan kehendak Allah. Ia taat karena percaya penuh kepada-Nya. Ketaatan ini menjadi dasar bagi penetapan Abraham sebagai “bapa orang beriman” (lih. Kejadian 22). Proses hidup Abraham mencatat jejak kepercayaan yang tidak bersyarat dan menjadi model bagi setiap orang percaya sepanjang zaman.
Demikian pula dalam kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego (Daniel 3:17–18). Ketika Raja Nebukadnezar menuntut mereka menyembah patung emas di dataran Dura, mereka menolak dengan tegas, meskipun taruhannya adalah nyawa. Mereka menyatakan bahwa Allah sanggup melepaskan mereka dari perapian yang menyala-nyala, tetapi sekalipun tidak, mereka tidak akan menyembah patung tersebut. Penolakan mereka bukan karena keyakinan bahwa Allah pasti menolong, melainkan karena mereka telah terlebih dahulu memercayai-Nya secara mutlak.
Di sinilah letak keagungan iman: tetap percaya, bahkan ketika secara rasional tidak ada alasan untuk percaya. Allah yang tidak kelihatan dan seolah tidak terlibat secara langsung dalam penderitaan manusia, tetap layak dipercaya karena siapa Dia, bukan karena apa yang Ia lakukan. Iman yang demikian tidak muncul dari logika untung-rugi atau dari kalkulasi hasil, tetapi dari pengakuan akan otoritas dan karakter Allah itu sendiri.
Sebaliknya, dalam kondisi penderitaan atau kesulitan, sebagian orang menjadi kecewa kepada Tuhan, marah, menjauh dari gereja, bahkan mengutuk Tuhan secara terbuka atau dalam hati. Fenomena ini mencerminkan iman yang dangkal dan transaksional — iman yang hanya bertahan selama Tuhan “menjawab” sesuai harapan manusia.
Oleh sebab itu, kepercayaan yang sejati kepada Allah tidak dibangun di atas dasar penyelesaian masalah, terjadinya mukjizat, atau terpenuhinya kebutuhan. Iman yang murni tetap berdiri kokoh ketika Allah seolah diam, ketika pertolongan tidak kunjung datang, ketika kebutuhan tidak terpenuhi, dan bahkan ketika penderitaan dan penghinaan menimpa. Dalam kondisi demikian, apabila seseorang tetap percaya kepada Allah tanpa sedikit pun mencurigai kasih dan kebaikan-Nya, maka ia sedang menampilkan iman yang berkualitas tinggi dan yang berkenan di hadapan-Nya. Inilah wilayah iman yang sejati — wilayah yang seharusnya kita semua masuki dalam perjalanan kekristenan kita.