Menjadi persoalan bagi orang Kristen yang belum dewasa ketika Allah yang mereka sembah dan akui ada serta layak dipercaya, ternyata tidak nyata dalam kehidupan ini. Maksud “tidak nyata” di sini adalah Allah tidak dialami secara fisik atau harfiah. Misalnya, tidak pernah mendapat penglihatan, tidak diangkat ke surga, tidak mendengar suara Tuhan secara audible dengan telinga, atau tidak pernah melihat penampakan Tuhan Yesus atau malaikat-Nya — seperti yang disaksikan oleh sebagian orang. Ini menjadi pergumulan bagi mereka yang belum dewasa secara rohani.
Kesalahan ini terjadi karena ada anggapan bahwa pengalaman nyata secara fisik atau harfiah dengan Allah adalah tanda kedewasaan rohani, bukti seseorang istimewa di hadapan Allah, atau lebih dikasihi dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya. Padahal, Tuhan Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang percaya walaupun tidak melihat.” Pernyataan ini justru mengajarkan bahwa mereka yang tidak mengalami hal-hal lahiriah namun tetap percaya, adalah orang yang berbahagia dan diberkati. Ini menunjukkan bahwa tidak mengalami pengalaman-pengalaman spektakuler bukan berarti kualitas rohaninya lebih rendah.
Karena itu, jika kita tidak pernah mengalami penglihatan, mimpi ilahi, suara Tuhan, atau pengalaman luar biasa seperti diangkat ke surga, jangan merasa bahwa kehidupan rohani kita lebih rendah. Jangan pula berpikir bahwa kita kurang dikasihi Allah. Pemahaman yang salah seperti ini dapat mendorong orang Kristen — khususnya para pendeta atau aktivis — untuk mengarang kesaksian demi menunjukkan bahwa dirinya lebih rohani, lebih diurapi, lebih dekat dengan Tuhan, lebih dewasa dalam iman, lebih berkarunia, dan lain sebagainya, dibandingkan dengan yang lain.
Keadaan seperti ini tentu sangat merugikan jemaat Tuhan. Ya, yang menjadi korban adalah jemaat. Di Indonesia, praktik pelayanan yang bersifat mistis seperti ini cukup digemari. Sebab, masyarakat Timur — seperti di Indonesia — memang cenderung menyukai hal-hal yang bersifat mistik. Maka pelayanan yang berorientasi pada mukjizat dan pemenuhan kebutuhan jasmani dengan pendekatan mistis sesungguhnya sedang mengarahkan jemaat kepada dunia ini. Pelayanan semacam ini lebih berfokus menyelamatkan nyawa di bumi, bukan menyelamatkan nyawa untuk kekekalan. Ironisnya, model pelayanan seperti ini justru lebih digemari, karena banyak orang merasa bahwa itulah kebutuhan utama.
Didukung oleh kepercayaan terhadap tokoh agama dan nuansa mistis, gereja-gereja yang mengajarkan hal ini — yakni yang berorientasi pada mukjizat dan pemenuhan kebutuhan jasmani secara mistis — pada akhirnya justru menjerumuskan jemaat kepada cara hidup duniawi dan menghambat pertumbuhan rohani. Pelayanan gereja seperti ini biasanya juga identik dengan penekanan pada kemakmuran dan berkat jasmani, serta cara-cara mistis dalam pemenuhannya. Padahal, cara seperti itu bukanlah jalan yang benar untuk memperoleh berkat Allah. Kemakmuran orang percaya harus dimaknai secara berbeda — bukan semata-mata secara materi.
Gereja atau komunitas semacam ini biasanya ditandai dengan cara berpikir mistis, sehingga logika dan nalar sehat tidak dimanfaatkan dengan optimal. Pendeta atau pembicara dalam lingkungan seperti ini sering menafsirkan ayat Alkitab secara semena-mena, membangun ajaran yang tidak benar dan tidak murni — ajaran yang tidak membawa jemaat pada maksud keselamatan yang sejati. Mereka tidak membangun kehidupan Kristiani yang murni, yaitu kehidupan yang diarahkan kepada rancangan Allah semula.
Kalau sudah demikian, sulit menghindari praktik pengultusan individu dalam lingkungan tersebut. Kita paham bahwa di Timur, pendeta atau pemimpin agama memang diberi tempat kehormatan yang khusus. Namun, praktik pengultusan semacam itu harus dihindari.