Skip to content

Menjaga Perasaan Allah

 

Sudah saatnya kita tidak perlu lagi mendengar khotbah-khotbah yang berkata, “Jangan takut, Tuhan beserta; jangan takut, Tuhan penuhi; jangan takut, Tuhan cukupi. Dia akan menyembuhkan penyakitmu, Dia akan memberikan pemulihan.” Itu adalah kata-kata untuk orang Kristen baru. Kita yakin Allah dapat dipercaya, asalkan kita menghormati-Nya.

Kalau kita benar-benar menghormati dan menghargai Allah, pasti kita tidak akan berbuat dosa, atau setidaknya tidak akan mudah melakukannya. Namun masalahnya, banyak orang lebih takut miskin atau takut kehilangan kehormatan daripada takut akan Tuhan. Padahal, kasus yang dihadapi orang percaya pada waktu itu adalah nyawa, bukan sekadar kemiskinan.

Jadi, kalau kita menghormati Tuhan, kita akan menjaga perasaan-Nya. Dan jika kita menjaga perasaan Allah, maka kita akan selalu memperhitungkan apakah yang kita lakukan ini menyenangkan Tuhan atau tidak. Kita harus berani mengambil keputusan bahwa dalam hidup ini, urusan kita hanyalah menjaga perasaan Allah. Titik. Sebab tidak ada hal yang lebih mulia dari menghargai Allah dan menjadikan Dia satu-satunya yang paling berharga. Kalau kita menghargai seseorang pun, itu karena kita menghargai Allah. Kalau kita bekerja dan mencari uang, maka uang menjadi berharga karena kita menghargai Allah.

Untuk orang seperti ini, Dia pasti menjaganya. Dan orang yang menghargai Allah, pasti juga menghormati Allah. Ini bukan lagi soal perpuluhan, buah sulung, persembahan, jadi aktivis, atau menjadi pendeta — hal-hal itu adalah perkara minor. Sedangkan hal utama, yang mayor, adalah bagaimana dalam segala hal kita menjaga perasaan Allah. Dia hadir dalam hidup kita, maka kita harus merasakan perasaan-Nya — dalam setiap kata yang kita ucapkan, dalam setiap perbuatan, bahkan dalam gerak pikiran dan perasaan kita. Hal ini tidak membuat kita menjadi aneh. Dan kita memilih jalan ini.

Jadi, tidak terlalu hebat dan penting apakah kita menjadi gembala sidang, pendeta, atau jabatan apa pun yang kita sandang. Apalagi jika hanya soal kemiskinan, bahkan kematian — semua itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah: apakah kita sudah menghargai Allah sepatutnya atau belum? Kita ini istimewa. Rambut kepala kita pun terhitung. Burung pipit saja berharga, apalagi manusia. Namun ironisnya, banyak orang Kristen tidak menghormati Tuhan secara patut, karena Tuhan seakan-akan tidak ada. Kalau bangsa Israel melihat Tuhan secara fisik, mereka mau tidak mau gemetar. Tapi itu pun banyak dari mereka yang tetap keras kepala meskipun sudah melihat langsung.

Maka firman Tuhan mengatakan, “Mereka melihat perbuatan-Ku selama 40 tahun, tapi mereka masih mengeraskan hati.” Bayangkan, yang melihat langsung saja seperti itu — apalagi kita. Firman Tuhan mengatakan bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus, tetapi kita menganggap seakan-akan Dia tidak ada. Kita tidak menjaga perasaan Tuhan, dan itulah yang kita lakukan selama bertahun-tahun. Kita sibuk menggembalakan jemaat, sibuk di Sekolah Tinggi Teologi, sibuk membuat program ini dan itu — di mana dalam semua itu terselip agenda pribadi. Padahal kita tahu bahwa kita berharga di mata-Nya. Sekarang, pertanyaannya adalah: apakah Dia menjadi berharga dalam hidup kita?

Ketika kita berusaha menempatkan Tuhan secara patut dalam hidup kita, Tuhan seakan-akan diam — tidak memberikan hadiah atau pujian apa pun. Dan saat kita hidup sembarangan, tidak menghormati-Nya, Dia juga seakan-akan diam. Itu masalahnya. Dan banyak orang memang hidup sembarangan. Kita dulu seperti itu, tapi sekarang kita harus berubah. Masih ada kesempatan untuk berubah.

Kalau kita masuk ke dalam kebenaran ini dan melakukannya, kita pasti tidak takut mati. Masalah apa pun tidak akan menakutkan kita. Kita menjalani hidup dengan tanggung jawab, sehingga masalah tidak lagi menggetarkan jiwa kita, karena kita lebih digetarkan oleh hadirat Allah. Kita lebih takut akan Dia. Kita mau membuat Allah hidup dalam hidup kita dan nyata dalam hidup kita.

Dan Allah berhak menerima penghormatan seperti itu. Artinya, ketika Dia senyap — berdiam diri seakan-akan tidak ada — kita tetap menjaga perasaan-Nya. Kita tetap berusaha melakukan yang terbaik. Kita selalu mempertimbangkan: Apakah ini menyukakan hati Tuhan atau tidak? Jangan takut terhadap apa yang dapat membunuh tubuh. Kematian pun menjadi tidak berarti jika kita sudah takut akan Allah. Takut karena kita menghormati dan mengasihi Dia. Takut karena kita menghargai Dia. Itulah takut yang benar dan kudus.