Jika ternyata kita terkena masalah — setelah kita hidup bertanggung jawab dan menjaga kesucian — berarti memang Tuhan menghendaki demikian. Bukankah Ayub juga bisa sakit dan Tuhan menghendaki demikian? Bukankah Paulus juga memiliki duri dalam daging? Bukankah ada ayat firman Tuhan yang mengatakan bahwa tubuhnya diserahkan kepada Iblis supaya jiwanya selamat? Ada orang yang diizinkan Tuhan mengalami masalah di fisiknya, tetapi dia malah bertobat karena hal itu. Bukan tidak mungkin, orang yang terpapar suatu penyakit parah lalu bisa menghayati betapa mengerikannya keadaan di ujung maut.
Jangan ayat-ayat firman Tuhan yang merupakan janji pemeliharaan Tuhan kita manipulasi, lalu kita mengatakan, “Tenang, ada janji Tuhan.” Janji Tuhan dalam Perjanjian Lama ditujukan untuk bangsa Israel, yang orientasinya masih berkat jasmani, pemenuhan kebutuhan fisik. Maka tidak heran kalau bangsa Israel memang secara materi dipenuhi kejayaan lahiriah; kemuliaan duniawi mereka menjadi ukuran berkat itu. Kalau mereka taat, maka mereka diberkati (berkat jasmani maksudnya). Tetapi kalau umat Perjanjian Baru, sudah taat pun tetap miskin, bahkan teraniaya, dan matinya pun dengan cara tragis.
Tapi dikatakan oleh firman Tuhan dalam Matius 10:28, “Jangan takut terhadap apa yang dapat membunuh tubuh tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa. Takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” Kata “tubuh dalam neraka” ini sebenarnya luar biasa. Karena semua orang akan mengalami kebangkitan (Dan. 12), tapi mereka yang tidak hidup dalam kebenaran akan dibuang ke api kekal.
Kita harus mempertimbangkan keadaan buruk yang bisa kita alami — bukan hanya terpapar sakit penyakit atau bencana alam — dan bisa membawa kematian. Tetapi kalaupun kita harus mengalaminya, pasti Tuhan memiliki rencana yang baik dalam hal itu. Bahkan sekalipun sampai kepada kematian, kita tidak takut. Kenapa? Ini yang penting: karena kita menghargai Tuhan. Orang yang menghargai Tuhan adalah orang yang pasti dihargai oleh Tuhan.
Di Perjanjian Lama, kita bisa menemukan kisah-kisah perbuatan Allah yang luar biasa dan dahsyat, dari penampilan dan penampakan Allah, serta penyataan-Nya secara fisik — bagaimana Allah mengerjakan hal-hal yang spektakuler dan ajaib di depan mata bangsa Israel, dan hal itu mereka alami. Perjumpaan dengan Allah secara fisik itu. Jadi, tidak sulit bagi mereka untuk mengakui adanya Allah yang hidup, karena Allah hadir dengan tiang awan, tiang api, memberikan semua kebutuhan mereka secara fisik. Baju dan sepatu mereka selama puluhan tahun tidak rusak — itu semua mukjizat. Bagaimana Laut Kolsom terbelah, tembok Yerikho roboh — tidak sulit. Tetapi setiap individu tidak bisa berhadapan langsung dengan Allah, kecuali imam besar.
Tetapi di zaman Perjanjian Baru, setiap individu bisa bersekutu dengan Allah, bahkan tubuhnya menjadi bait Roh Kudus. Tetapi Allah tidak menyatakan diri secara fisik seperti di zaman Perjanjian Lama. Tidak mudah mengalami kehadiran Allah secara fisik, tetapi banyak orang Kristen yang mengacu pada tindakan Allah di Perjanjian Lama, lalu mau tanda-tanda spektakuler itu. Dan itu menjadi rusak. Iman kita tidak dibangun dari tanda-tanda spektakuler atau lahiriah, karena Yesus sendiri mengatakan, “Berbahagialah orang yang percaya walau tidak melihat.” Dia hadir dalam hidup kita. Tubuh kita menjadi bait Roh Kudus. Tetapi Allah seperti tidak kelihatan dan senyap. Itu masalahnya.
Sekarang, tergantung seberapa orang berani meyakini bahwa Allah hadir dalam hidupnya, dan menghormati Dia, menghargai Dia secara patut. Sebab kenyataannya, kita melihat hampir semua orang tidak menghormati Allah secara patut, termasuk kita dulu. Tapi syukur kepada Dia, melalui perjalanan waktu, kita mulai menyadari bahwa sikap kita kurang patut terhadap Tuhan. Tuhan punya kesabaran yang luar biasa. Maka, jangan sia-siakan kesempatan untuk membenahi diri.