Skip to content

Nabi Palsu

 

Ketika kita dibawa ke situasi-situasi sulit, kita jangan hanya menarget masalah itu selesai, tetapi yang kita bidik adalah bagaimana kita terbang lebih tinggi, makin kudus, makin berkenan di hadapan Allah dan makin masuk ke Ruang Maha Suci-Nya. Inilah yang harus menjadi pergumulan kita. Jangan biarkan diri kita tenggelam dalam hiburan yang sia-sia — tontonan, media sosial, atau kesibukan-kesibukan duniawi — yang mendistraksi pikiran dan menjadikan kita sasaran empuk bagi kuasa kegelapan. Kita harus keluar dari lingkaran ini, hingga kita menjadi pribadi yang sulit dibidik oleh musuh.

Jika kedagingan kita telah mati dan hasrat kita hanya tertuju kepada kehendak Allah, maka Iblis tidak dapat menyentuh kita. Tentu, ini bukan pencapaian yang mudah, tetapi orang-orang kudus harus sampai pada tahap ini. Hal ini bukan sesuatu yang bisa sepenuhnya dijelaskan melalui kata-kata — itu harus dialami secara pribadi. Misalnya, seseorang yang dulunya menggunakan uang untuk kepuasan diri, kini akan berpikir: “Apa yang harus aku kerjakan dengan kepercayaan ini?” Semakin banyak yang Tuhan percayakan kepada kita, semakin kita harus peka terhadap kehendak-Nya atas semua itu.

Kini kita hidup di era yang bergerak cepat menuju akhir zaman — suatu masa yang sangat rawan bagi iman Kristen. Ini bukan sekadar teori, tetapi fakta yang nyata. Jika kita jeli memperhatikan fenomena dunia saat ini, kita akan melihat betapa dalamnya kemerosotan moral dan nilai-nilai kekristenan. Dalam Matius 24:9-12 dikatakan, “Pada waktu itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua bangsa oleh karena nama-Ku, dan banyak orang akan murtad dan mereka akan saling menyerahkan dan saling membenci. Banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang. Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” Firman Tuhan juga menyatakan bahwa “semua orang yang hidup saleh (Yunani: eusebos) — yang hidup dalam kesalehan dan ibadah — akan mengalami aniaya” (2 Timotius 3:12). Artinya, penderitaan dan tekanan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jalan hidup orang benar. Dan dalam tekanan itu, muncul para nabi palsu. Situasinya menjadi kacau, karena siapa yang benar dan siapa yang sesat sulit dibedakan.

Nabi palsu tidak selalu tampil dengan atribut yang mencolok. Perhatikan baik-baik: siapa pun yang mengajar tanpa mencerminkan karakter Kristus, dapat menjadi nabi palsu. Dan jemaat yang diajarnya pun tidak akan dibentuk untuk mengenakan karakter Kristus. Mereka tidak diarahkan menuju kesempurnaan seperti Bapa dan keserupaan dengan Kristus.

Oleh karena itu, kita harus memiliki kelekatan dan kedekatan yang sejati dengan Tuhan — hidup dalam hubungan yang intim, mampu mendengar suara-Nya, dan memiliki kepekaan membedakan roh. Sebab, pengajar yang tidak menampilkan karakter Kristus, yang pasti tidak akan mengubah jemaat untuk sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Kristus, bisa dikategorikan nabi-nabi palsu.

Dalam Yohanes 1:12 tertulis: “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah.” Banyak orang mengira bahwa menerima dan percaya kepada Yesus secara otomatis menjadikan seseorang anak Allah. Inilah sebabnya hampir semua orang Kristen mengklaim diri sebagai anak-anak Allah. Padahal, menjadi anak Allah berarti hidup dalam pimpinan Roh Kudus dan mengenakan firman Tuhan dalam keseharian.

Sayangnya, Iblis dengan cerdas menggeser makna pengenalan akan Allah menjadi sebatas pengertian nalar. Akibatnya, peran Roh Kudus digantikan oleh para teolog — melalui buku, seminar, dan khotbah. Bukan berarti hal-hal ini salah. Teolog perlu berkarya dan mengajar. Namun lebih dari itu, firman Tuhan harus dihidupi dan diaktualisasikan dalam pimpinan Roh Kudus. Hanya Roh Kudus yang sanggup mengekstraksi kebenaran firman bagi masing-masing pribadi, sesuai kebutuhan dan waktunya. Tanpa Roh Kudus, firman hanya akan menjadi teori tanpa kuasa.