Skip to content

Berjalan Bersama Tuhan

 

Sungguh, Allah Bapa rindu untuk selalu berjalan bersama kita. Suatu hari kelak, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, “Di mana Dia ada, kita ada.” Sebagai Mempelai Pria, Ia ingin kita sebagai mempelai wanita-Nya bersama dengan Dia selamanya. Pertanyaannya, apakah kita sungguh-sungguh merindukan berjalan dengan Roh Kudus setiap saat? Apakah kita sungguh-sungguh mengingini Tuhan Yesus? Jujur saja, seringkali tidak. Tentu tidak ada orang Kristen yang waras ingin ditinggalkan Tuhan. Tapi kenyataannya, banyak orang hanya ingin disertai Tuhan pada saat-saat tertentu — saat membutuhkan pertolongan, perlindungan, atau pemenuhan kebutuhan jasmani. Ketika semua terasa baik-baik saja, kehadiran Tuhan pun tidak dicari. Itu bukanlah kesetiaan.

Tuhan mau kita setia. Kita harus hidup dengan prinsip bahwa kita tidak bisa hidup tanpa Tuhan. Dalam kondisi apa pun — punya masalah atau tidak, sehat atau sakit, kaya atau miskin — kita tetap harus menyadari bahwa kita memerlukan Tuhan. Dia seharusnya menjadi sumber kehidupan kita yang sejati. Tapi tidak banyak orang mencapai tingkat ini. Banyak yang masih bergantung pada sumber kebahagiaan duniawi, bukan pada Tuhan. Banyak orang yang kekuatan hidupnya tergantung dari kesenangan, kebahagiaan dunia. Mereka terbiasa menerima arus tegangan listrik dari dunia, bukan arus tegangan listrik dari Allah.

Jika seseorang terus-menerus bergantung pada dunia, maka suasana jiwanya akan ditentukan oleh dunia juga. Ia tidak akan merasa butuh Tuhan, sampai akhirnya terlambat — saat maut menjemput, barulah ia sadar bahwa air kehidupan itu adalah Tuhan sendiri. Seperti kisah orang kaya dan Lazarus dalam Lukas 16, setelah mati barulah ia sadar apa yang sesungguhnya penting. Banyak orang, termasuk orang Kristen, sudah terikat oleh arus dunia. Mereka merasa belum puas jika belum memiliki sesuatu, belum pergi ke suatu tempat, belum mendapatkan pengakuan tertentu. Orang-orang seperti ini, tanpa sadar, sedang diseret menuju kegelapan abadi.

Ironisnya, tidak sedikit aktivis gereja bahkan hamba Tuhan hidup dalam keadaan seperti ini. Dari ucapan dan sikapnya saja bisa terlihat: keinginan untuk menonjolkan diri, bersaing, iri, dendam, atau tidak rela melihat orang lain maju. Ini semua tanda bahwa mereka masih bergantung pada arus dunia. Nilai diri diukur dari gelar, kehormatan, status sosial.

Namun jika kita hidup bergantung pada Tuhan — pada “arus listrik dari Allah” — kita tidak akan merasa bahagia tanpa persekutuan sejati dengan-Nya. Meskipun memiliki banyak harta, kehormatan, dan fasilitas duniawi, kita tetap tidak merasa puas jika tidak hidup dekat dengan Tuhan. Sebab hanya Tuhan yang menjadi kebahagiaan kita. Tuhan ingin berjalan bersama kita, karena di luar Dia tidak ada kehidupan. Menjadi Kristen bukan sekadar bisa berdoa saat makan dan tidur, datang ke ibadah, atau aktif dalam pelayanan. Jika hati kita tidak haus akan Tuhan, belum sungguh terikat kepada-Nya, kita masih hidup sebagai anak dunia — hidup dalam kewajaran manusia duniawi.

Sebaliknya, anak-anak Allah adalah mereka yang mengenakan hidup Kristus, yang berkata seperti Yesus: “Makananku adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Hidupnya sepenuhnya dipersembahkan kepada Tuhan. Artinya, setiap aktivitas yang dilakukan adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Dan melalui hidup orang seperti ini, Tuhan menjamah, menyentuh, dan memberkati orang-orang di sekitarnya. Allah mau menyatakan belas kasihan-Nya dan menyatakan berkat-berkat kehadiran-Nya melalui hidup kita. Inilah pelayanan sejati: ketika Tuhan menyatakan kehadiran-Nya lewat hidup kita. Dan hanya orang yang telah menjadikan Tuhan sebagai sumber kebahagiaannya yang bisa melayani dengan cara seperti ini. Jangan sampai kita meleset. Selagi masih ada kesempatan untuk bertobat dan berubah, mari kita manfaatkan. Mulailah sekarang untuk berjalan bersama Tuhan. Sebab orang yang berjalan bersama Tuhan di dunia, akan berjalan bersama Dia dalam kekekalan.