Skip to content

Merayakan Hidup-Nya

 

Karena kesalehan-Nya, Yesus didengarkan. Ia taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Itulah sebabnya Filipi 2:5–7 mengajarkan bahwa kita harus memiliki pikiran dan perasaan seperti Dia. Kita merayakan hidup-Nya, bukan dengan pesta Natal penuh kemeriahan—sebab itu tidak tepat—melainkan dengan merayakan penderitaan-Nya dan pergumulan-Nya dalam kehidupan konkret kita setiap hari. Hanya dengan demikian kita bisa mengenakan hidup-Nya. Namun itu tidak bisa dilakukan dengan cara yang mudah. Ibrani 5:8 menegaskan, “Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya.” Yesus pun belajar. Ia tidak serta-merta menjadi sempurna.

Ayat 9 melanjutkan, “Dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” Dia adalah pokok keselamatan. Dalam bahasa Yunani aitios yang berarti penggubah, komposer. Yesus mampu “menggubah” hidup kita. Haleluya! Tetapi hanya bagi mereka yang taat. Ia tidak bisa menggubah orang yang menolak taat. Ia hanya dapat menggubah mereka yang mau digubah. Bila kita masih sibuk dengan dunia dan merasa ada hal lain yang bisa membahagiakan hidup kita selain Tuhan, pasti kita berkhianat kepada-Nya. Dulu kita bodoh, tetapi kini kita mengerti: tidak ada yang bisa membahagiakan kita selain Tuhan. Kita mau siap menutup mata untuk bertemu dengan Dia, tanpa berkhianat.

Merayakan hidup-Nya berarti memperhatikan apa yang Yesus ajarkan dan lakukan. Tuhan ingin mengajar kita melukis sebuah “lukisan hidup” sebagaimana yang Ia lukis. Jujur saja, dalam pergumulan melawan dosa kita bahkan belum sampai mencucurkan darah—artinya, kita belum benar-benar mati-matian. Mulai sekarang, dari setiap kata yang kita ucapkan harus lahir keteduhan. Dulu kita sering kompromi dengan dunia, kini kita mau benar-benar berubah. Tuhan merancang agar kita kembali pada rancangan semula: manusia yang berkodrat ilahi. Dan Yesuslah model manusia berkodrat ilahi itu.

Pelayanan sejati bukan hanya membuat ekonomi orang membaik, menyembuhkan yang sakit, atau memulihkan rumah tangga. Itu wilayah agama. Semua agama bisa melakukannya, bahkan menghadirkan mukjizat dalam kegiatan ritual mereka. Tetapi kekristenan berbeda: kekristenan mengubah kodrat, melahirkan anak-anak Allah yang berkodrat ilahi. Inilah yang tidak dimiliki siapa pun, di mana pun. Orang Kristen abad mula-mula memahami hal ini dengan luar biasa.

Pada awal pelayanan-Nya, ketika Yesus memberitakan Injil bersama murid-murid-Nya, orang Yahudi dan para murid belum mengerti maksud kedatangan Yesus. Mereka masih beragama Yahudi, termasuk Yesus sendiri yang tetap datang ke Bait Allah. Murid-murid-Nya melanjutkan pelayanan Yohanes Pembaptis: Yohanes membaptis, lalu murid-murid Yesus juga membaptis, sementara Yesus mengajar. Bagi mereka, alasan mengikuti Yesus masih kabur—bahkan sebagian berharap Ia menjadi raja dunia seperti Herodes atau Kaisar Roma.

Namun setelah Roh Kudus dicurahkan, mereka mulai mengerti apa itu kekristenan. Meski demikian, mereka sempat tetap bersatu dengan agama Yahudi. Yohanes dan Petrus masih datang ke Bait Allah, bahkan di Pintu Gerbang Elok mereka menyembuhkan orang sakit. Tetapi ketika penganiayaan datang—orang Kristen ditangkap, dianiaya, tercerai-berai—terjadilah pemisahan antara kekristenan dan agama Yahudi. Mereka tidak bisa lagi kembali ke Bait Allah. Di situlah orang Kristen mula-mula mulai menemukan jati diri: apa sebenarnya kekristenan sejati.