Skip to content

Dualisme

Saudaraku,

Dalam waktu yang lama, belasan bahkan bisa puluhan tahun, kita berpikir bahwa perjuangan menjadi seperti Yesus atau berkarakter Yesus bisa kita capai dan miliki sementara kita tetap menjalani hidup dan melakukan berbagai kegiatan yang di dalamnya termuat agenda-agenda pribadi yang normal atau wajar di mata umum. Tetapi setelah melalui perjalanan yang panjang dan bertumbuhnya pengertian kita mengenai firman Tuhan, hal itu tidak boleh terjadi atau berlangsung dalam hidup kita. Jadi sementara kita menjalani hidup, kita belajar untuk menjadi seperti Yesus. Kita tidak akan bisa kita memperoleh capaian yang memuaskan hati Allah sebelum kita meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti-Nya.

 Sejatinya, hampir setiap kita nyaris terlambat, namun masih ada kesempatan walau itu sepotong kecil. Jadi prinsip menjadi orang Kristen adalah belajar berusaha menjadi seperti Yesus melalui berbagai kegiatan hidup yang kita lakukan. Dan memang kegiatan hidup kita itu merupakan sarana kita untuk bertumbuh dan diproses untuk menjadi seperti Yesus. Jadi apabila kita menggenapi firman yang mengatakan, ‘baik kau makan dan minum dan melakukan sesuatu lain, lakukan semua untuk kemuliaan Allah,’ barulah pencapaian kita untuk menjadi serupa dengan Yesus dapat terwujud. Jadi bukan berpikir seperti orang pada umumnya yang secara etika umum tidak ada salahnya dan tidak jahat. Tetapi kita beragama Kristen, kita percaya Tuhan Yesus, dan kita belajar juga menjadi seperti Yesus, maka kita tidak bisa seperti manusia pada umumnya.

Tapi kelompok yang terbesar sebenarnya adalah sudah merasa selamat menjalani hidup, menikmati hidup, tapi percaya Yesus dan kepercayaan itu dianggap sebagai suatu jaminan masuk surga. Pada umumnya orang Kristen berpikir tidak perlu ada usaha yang signifikan untuk menjadi seperti Yesus.

Sekarang yang sungguh-sungguh mau menjadi Yesus saja masih bisa memiliki nuansa dualisme. Sehingga pencapaiannya tidak sempurna dan sangat sulit. Dualisme yang kita miliki pasti sangat menghambat pencapaian hidup sempurna karena ada benih kodrat dosa yang masih ikut bertumbuh. Di sini kita masih memberi ruangan kodrat dosa kita hidup, bahkan bisa berkembang, apalagi kalau doktrinnya tidak benar, tidak tepat. Dan masalahnya, ruangan untuk kodrat dosa bertumbuh bisa luas sekali. Tapi kalau tujuan hidup kita hanya Tuhan dan Kerajaan-Nya, dimana kita dipanggil hanya untuk serupa dengan Yesus melalui semua kegiatan yang kita lakukan, maka firman Tuhan dalam Roma 8:28, tergenapi. Tidak ada ruangan yang kita sediakan bagi dunia dan cara pikir dunia tidak boleh masuk, sementara kita terus mematikan kodrat dosa dalam kita.

Sebab pada paparan tertentu nanti kita harus belajar untuk bisa menjadi manusia yang bersih, tidak melihat apa yang tidak perlu kita lihat; tidak perlu bicara apa yang Tuihan tidak kehendaki, tidak melakukan apa pun yang Tuhan tidak suka.  Jadi kita memang harus sepenuhnya untuk Tuhan. Kita tidak boleh memberi ruang sekecil apa pun untuk kodrat dosa, walaupun kemudian faktanya masih ada kedagingan kita yang belum mati atau tutur dunia yang masuk. Tetapi kita jauh akan kokoh di situ karena kita memberi ruangan tanpa batas bagi pencapaian kesempurnaan hidup. Sekarang kita harus memilih: mau sepenuhnya hidup untuk Tuhan atau hidup dalam dualisme.

Tuhan menghendaki kita bukan sekadar radikal terhadap dualisme, melainkan memiliki satu-satunya tujuan hidup kita hanya menjadi seperti Yesus. Dan Tuhan akan mampukan kalau kita sungguh-sungguh, karena apa yang tidak mungkin bagi manusia, tapi bagi Allah segala sesuatu mungkin (Mat. 19:26). Di konteks percakapan itu, Tuhan juga menyinggung mengenai orang kaya sukar masuk surga. Kenapa? Karena orang kaya secara psikologis memiliki banyak kesenangan, potensi untuk meraih dunia lebih besar, lebih luas, sehingga semakin sulit baginya untuk meninggalkan semua itu. Sedangkan orang miskin, tertindas, itu bisa lebih mudah, walaupun tidak otomatis selalu seperti itu.

Jadi, masalah hidup sejatinya adalah berkat, tergantung bagaimana kita memaknainya; secara tepat atau tidak. Dan dalam pengalaman hidup tersebut, kita tidak cukup memaknai hal yang terjadi dengan pemaknaan yang dangkal. Setelah kita dewasa, kita mengerti bahwa masalah-masalah itu adalah cara Allah hadir untuk membentuk kita. Dan kita bersyukur, Tuhan mau mendidik kita, sekarang tergantung kita seberapa kita berani. Jadi kalau hari ini kita bukan orang kaya atau tidak terpandang, jangan anggap itu kegagalan. Sebab kalau kita sudah mengerti kebenaran begini, apa artinya menjadi pimpinan terhormat kalau semua ini kita gunakan untuk kepentingan pribadi yang mana melukai hati Allah? Jadi kita harus rela meninggalkan dunia. Camkan ini, aniaya itu membuat orang Kristen terpisah, kehilangan hidup.

 

Teriring salam dan doa,

Dr. Erastus Sabdono