Suatu hari nanti banyak orang sangat menyesal. Penyesalan yang tidak bisa digambarkan atau dilukiskan dengan kata-kata. Alkitab mencoba melukiskan penyesalan itu dengan ratap, tangis dan kertak gigi. Penyesalan yang juga bisa merupakan kemarahan. Sulit untuk marah kepada Tuhan. Tetapi kemungkinan marah kepada diri sendiri. Mengapa? Ketika manusia melihat realitas kekekalan yang dahsyat, maka 70-80 tahun umur hidup manusia itu lebih kecil dari setitik air di lautan. Lebih kecil dari 1 butir debu atau 1 butir pasir di laut. Kekekalan itu dahsyat sekali. Itulah sebabnya, Tuhan berfirman di Injil Matius 16, “Apa gunanya orang beroleh segenap dunia kalau jiwanya binasa?”
“Segenap” bukan hanya menjadi konglomerat. Bukan hanya memiliki kekayaan suatu kota atau suatu negeri. Seluruh kekayaan dunia tidak ada artinya dibanding dengan kemuliaan hidup di dalam Kerajaan Surga; di langit baru bumi baru. Banyak orang yang mata hatinya tertutup atau buta terhadap realitas kekekalan. Bahkan tidak jarang pendeta yang mendengar kalimat “langit baru bumi baru” menertawakannya. Tetapi tidak perlu pusing dan tidak perlu peduli dengan respons orang terhadap kita. Kita harus terus memancangkan perhatian kita pada realitas kekekalan.
Jangan sampai kita menjadi salah satu orang yang terbuang dan menghadapi keadaan tragis, terpisah dari hadirat Allah selamanya dalam ratapan, tangisan, dan kertak gigi. Oleh sebab itu, kita harus terus mengingat dan memerintahkan seluruh saraf kita. Sampai jiwa kita dicengkeram oleh kebenaran, bahwa hidup di bumi ini bukan satu-satunya kesempatan hidup. Jangan berpikir setelah kematian, tidak ada kehidupan. Justru kehidupan yang sesungguhnya, yang dirancang oleh Allah setelah manusia jatuh dalam dosa adalah kehidupan di balik kubur.
Karena Allah adalah Allah yang kekal, Allah tidak merancang kematian. Allah yang kekal merancang manusia untuk terus-menerus hidup dalam persekutuan dengan Allah. Memang, kita tidak bisa menghindari kematian fisik. Kehidupan di balik kubur itulah kehidupan yang dirancang Allah dimana tidak ada kematian. Tentu tidak ada sakit-penyakit, bencana, krisis, kemiskinan, dan berbagai penderitaan, seperti yang dialami di bumi.
Mestinya, hidup kita sekarang hanya untuk persiapan bagi kehidupan yang akan datang. Kita harus sungguh-sungguh memberikan kesempatan untuk membangun dan mempersiapkan diri untuk masuk dunia yang akan datang. Orang-orang seperti ini barulah bisa mewujudkan yang Alkitab katakan, “Baik kamu makan atau minum, atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan semua untuk kemuliaan Allah.”
Setiap kali Tuhan memberikan kita kesempatan untuk berurusan dengan Tuhan, gunakanlah kesempatan itu. Jangan seperti orang-orang yang berpikir, bahwa seakan-akan kesempatan hidup hanya sekarang ini di bumi. Akhinya, Saudara akan berfilosofi atau berprinsip seperti yang dikatakan dalam 1 Korintus 15:32, “… marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Pada umumnya orang tidak mengatakan begitu, tetapi dari gaya hidup dan cara berpikirnya, jelas menunjukkan filosofi hidup tersebut.
Harus ada bagian yang cukup untuk bergaul dengan Allah; lewat doa, mendengarkan khotbah. Kalau kita berkata “sibuk” sehingga tidak menyediakan waktu untuk Tuhan, kita akan terus terbawa dalam irama hidup yang tidak haus akan Allah. Sampai suatu saat, kita tidak bisa haus lagi akan Tuhan, karena cita rasa jiwa kita hanya nikmat dengan berbagai kesibukan, kerja dan hobi. Jadi, jangan menunda. Setiap hari kita harus memiliki proyeksi; bagaimana menggunakan dan menghargai kesempatan.
Pertemuan dengan orang-orang yang membuat kita tidak kudus, itu tidak perlu. Kegiatan-kegiatan hidup yang membuat kita tidak bertumbuh, harus ditinggalkan. Kita tidak tahu kapan meninggal dunia, kapan kesempatan kita berakhir, dan Tuhan tidak memberitahu. Kalau Tuhan memberitahu, maka pertobatan kita tidak natural, tidak tulus. Pertobatan seperti ini adalah pertobatan yang tidak menyenangkan hati Allah. Berbeda kalau kita memang bertobat dengan sungguh-sungguh, karena kita mau menyenangkan hati Allah, dengan kehidupan yang tidak bercacat tidak bercela.
Tidak ada yang bisa merusak hidup kita kalau hidup kita menyenangkan hati Allah. Sebab kalau kita hidup suci, hidup benar, pasti Tuhan lindungi, berkati, dan kita tidak akan dipermalukan. Kita bersedia bertobat setiap hari, bukan karena mau mati, melainkan karena sadar, kita ini ciptaan Allah yang hidup hanya untuk menyenangkan Dia dengan setiap kata yang diucapkan, dengan gerak pikiran, perasaan kita.
Jangan kita menganggap masalah besar—atau apa pun dan siapa pun—lebih penting dari kesucian hidup. Rendahkanlah diri di hadapan Tuhan, akui keadaan kita yang masih jauh dari kehendak Allah, akuilah setiap kesalahan sekecil dan sehalus apa pun. Mulailah berjalan di dalam kesucian Tuhan. Itulah persiapan untuk kekekalan.
Jangan kita menganggap masalah besar atau apa pun dan siapa pun lebih penting dari kesucian hidup.